Lihat ke Halaman Asli

Kisah Cinta Sang Napi

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tidak tau harus mengawali kisahku dari mana. Siapapun akan melirik sebelah mata apabila melihat predikat yang kusandang. Aku adalah Napi. Ya,, narapidana. Aku seorang yang dipenjara karena melakukan sebuah pembunuhan.

Aneh ya,, ketika berfikir mau mengawali kisahku dari mana, aku malah memperkenalkan diriku yang sering dianggap tidak punya hari nurani oleh keluarga orang yang kubunuh.

Aku pun tahu, menghilangkan nyawa seseorang adalah tindakan yang melanggar hukum. Tapi... aku sampai sekarang tidak mengerti kenapa hanya ada sedikit rasa penyesalan yang terbersit dalam relung hatiku.

-----------------------------------------------------------------------------

-----------------------------------------------------------------------------

“Arga..udah sholat isya' belum?? berjamaah yuk!” Sumar, teman satu sel ku tiba-tiba berkata dari belakangku. Aku yang sedang menulis pada selembar kertas HVS A4 tanpa sadar meletakkan pulpen murahan yang kupegang.
“Oh...sudah..saya sudah sholat isya kok Mas,” jawabku sambil menatap kembali kertas yang kuhadapi, sementara Sumar tertawa terbahak-bahak seperti preman. Yah...dia memang preman sih dulunya.
Kau tahu, ajakannya sholat berjamaah itu hanyalah caranya untuk mengolok-olokku saja. Aku memang berusaha menegakkan sholat lima waktu meskipun berada di dalam penjara. Dan itu membuat para penghuni penjara men-cap ku sebagai 'napi sok alim' .

Aku kembali menggoreskan pulpen pada kertas yang tadi sore kuminta pada sipir penjara yang badannya besar seperti pesumo. Aku heran kenapa dia bisa sebesar itu. Apakah dia pernah makan uang suap? Ah,, persetan dengan uang suap. Andai aku bisa keluar dengan uang suap pun, aku sayang mengeluarkannya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mengapa aku hanya menyimpan sedikit penyesalan???
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

tulisanku hanya terhenti sampai situ. Aku meremas remas kertas itu hingga menjadi bola dan menggenggamnya kuat-kuat dengan kedua tanganku.
Ahh,,, aku memang bukan seorang yang punya bakat menulis, pikirku sambil melemparkan kertas itu sembarangan.

Lalu aku ikut meringkuk di ranjangku yang sekeras batu. Di ranjang susun yang ada di atasku, Sumar sudah lebih dahulu terlelap dan mendengkur dengan keras. Betul-betul preman sejati dia.

Pikiranku tak bisa menghindar untuk tidak memikirkan masa laluku, sebelum aku sampai di tempat yang bau ini.

Sebelum dipenjara aku adalah seorang kuli bangunan. Umurku sekarang dua puluh tahun. Dulu aku juga pernah bersekolah seperti kalian, namun hanya sampai tamat SMP.
Di Jakarta sekolah bukanlah hal yang murah bagi orang yang dilahirkan di rumah-rumah yang terbuat dari triplek dan kardus seperti aku,
Aku masih beruntung bisa lulus SMP. Banyak anak-anak di lingkungan tempat tinggalku yang dari umur lima tahun sampai dewasa hanya bisa menjadi pengamen.
Cap Manusia Berandal bukanlah hal yang aneh lagi buat kami-kami ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline