Lihat ke Halaman Asli

Kimyunn

Seorang pembaca dan pendongeng

Malam Tanpa Tuhan

Diperbarui: 2 Juli 2020   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Di malam yang keparat, dalam gigil gerimis yang menjerat, dia bangkit merayap dinding yang berkarat. Pada dinding bak penuh kurap itu sesuatu dia angkat, dia genggam erat sebelum menyelinap, membuka jendela tanpa derap. Dia melompat, melesat menembus gelap. Meninggalkan Ibu dan si bungsu terlelap.

Musuh bebuyutannya kini adalah malam. Burung hantu dan lolongan serigala geram menghujam. Jarum langit menusuk dalam jiwa yang merajam. Mukanya suram, berusaha mengentas gundah kalbu terdalam.

Namun dia tetap melangkah tanpa goyah. Ratap dan pikirannya tertuju pada sebuah rumah. Tak peduli si penghuni ada atau entah. Matanya nanar, menatap gusar pada malam yang enggan berpendar. Disibaknya rerumputan liar, menggemakan kesumat yang mengakar. Amarahnya berkobar, batinnya berkoar pertanda sudah tak sabar menanti akhir yang terakbar.

Sesuatu yang berkilau masih digenggamnya. Dia biarkan kilaunya tetap ada. Mengerikan bila berbias cahaya. Tak luput ia acungkan serta tatkala ada mata melata dan menganga curiga terhadapnya. Jam dua. Masih saja ada yang terjaga. Persetan dengan mereka!

Dia tak pernah takut pada semua mantera yang telah diramut untuk membuat nyalinya lenyap dalam kabut. Malam bukanlah kawan. Bulan bukanlah teman. Karena keduanya tak pernah memberi dukungan. Jadi dia tak perlu sungkan membelah takdir yang telah digariskan.

Dia jadi teringat pada nasib yang tak membelanya. Kenapa pula lelaki itu merobeknya, merusak masa depannya. Memukuli Ibunya, menendang adik lelakinya yang baru delapan tahun menapak di dunia. Dia tak gentar, meski Ibunya pernah berkata bahwa lelaki itu telah menjadi ayah pengganti ayah yang dikenalnya sejak subuh merekah di awal dunianya yang indah.

"Ayah tiri?"

Dia bergumam sendiri. Bukan itu yang dia ingini. Lelaki itu harus diadili atas kelakuannya yang bejat tak berperi.

Dia mengibaratkannya setan, setelah dipaksa serahkan keperawanan. Padahal baru berumur belasan. Tak ada yang tahu. Bahkan juga Ibu. Dia pasti malu. Dadanya penuh amarah bersembilu. Dengan luka dan rajam di telinga bertalu-talu.

Kini, pada malam yang sunyi dia menanti saat yang tepat untuk mengakhiri. Tak peduli jika setelahnya harus terkurung dalam terali besi. Sungguh malam gelap sempurna. Gemericik air sepanjang tepi sungai melecutkan semangatnya. Makin menggebu dia.

Samar, terlihat dalam langkah yang tertahan. Rumah itu telah berada dalam jangkauan. Dilihatnya lelaki itu tertidur di bangku taman. Dia seolah menanti saat kematian. Apakah ini sebuah kebetulan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline