Lihat ke Halaman Asli

Yeksi Devitasari

Mahasiswa S3

Apakah Pendidik Pencari Rupiah Belaka?

Diperbarui: 17 November 2017   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Dewasa ini para masyarakat hendaknya diajak untuk berpikir kritis mengenai keadaan pendidikan yang miris di Indonesia. Pola pikir primitif kini harus ditebang tuntas. Sebagai suatu kesatuan yang utuh, marilah mengasah pikiran dan akal sehat sejenak memikirkan masa depan bangsa Indonesia supaya dapat melakukan langkah tegap maju bukan tertinggal sejauh jalan ditempat. Indonesia memerlukan paradigma baru, untuk itu perlu diadakan sebuah etos kerja untuk menjadikan Negara ini sebagai Negara yang berintegritas dan bermartabat terutama melalui jenjang pendidikan. Alasan mengapa kita perlu berfikir :

  1. Pembiasaan diri menghindari karakter malas.
  2. Untuk memahami sebuah teorema problematika pendidikan masa kini.
  3. Memahami sebuah proses akan keadaan reformasi yang terus pembaharuan.
  4. Melatih berpikir kritis bahkan diluar kebiasaan/berfikir secara spontanitas.
  5. Memilah cerdas akan adanya suatu kebenaran yang disalahkan begitupun sebaliknya kesalahan yang dibenarkan.

Secara etimologi sesuatu yang tidak ada namun berusaha untuk diadakan tanpa pembuktian yang jelas sering disebut dengan "Hoax" yang saat ini sering terucap dalam kalangan kalayak. Hoax berupa  informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hoax merupakan suatu perbuatan kebodohan yang secara halus terasa dan tidak tampak oleh pelaku. Beberapa oknum terkadang memanfaatkan situasi dimana dengan menyebarkan informasi yang tidak benar adanya untuk mengambil keuntungan. Itulah mengapa pendidik begitu besar kaitannya memerangi hoax yang ada di Indonesia. Kembali pada tujuan seorang pendidik yang selalu ingin membawa perubahan besar bagi pola pikir masyarakat Negeri ini. Namun takjubnya, pendidikpun pada akhirnya malah menjadi bahan kontroversi. Sekecil biji jagung kesalahan harus segera diketahui oleh publik. Begitu cepat menyebar luas melalui media sosial bahkan melalui berita di televisi. Sehingga kehidupan pendidik seringkali mendapat cibiran pedas dari masyarakat mengenai berita hoax yang belum tentu benar keberadaannya. Seharusnya nitizen paham dan dapat memilah atau bahkan mungkin berpikir kritis untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu perkara, baik perkara yang benar memang terjadi ataupun perkara yang belum tentu benar keberadaannya.

Sering kita mendengarkan ungkapan "banyak jalan menuju roma". Tanpa kita ketahui bagaimana cara berjalan menuju roma. Sehingga banyak individu misunderstandingterhadap suatu pernyataan, dan mengambil langkah yang salah. Lantas, kepada siapa kita akan menemukan jalan menuju roma? Siapa yang akan menuntun kita menuju roma? Tentunya kehidupan manusia tak lepas dari Ketuhanan yang Maha Esa,kemudian Orangtua sebagai kunci kehidupanserta Guru yang turut andil dalam menata masa depan. Ketiga unsur tersebut ada terhitung sejak kita lahir hingga tertinggal nama. Namun dalam pemaparan artikel ini seorang guru yang akan diprostulasikan sebagai pengaruh aspek pendidikan di Indonesia sebagai senjata utama dalam memerangi adanya berita hoax, malah dianggap sebagai satuan terbesar penuntut kenaikan upah penyebab demonstrasi. Tanpa adanya kesadaran dibawah akal sehat, hakikatnya pendidik adalahunsur yang saat ini sangat dibutuhkan demi kecerdasan pola pikir bangsa ini.

Perlu diketahui bahwa pengetahuan otakmanusia sebagian besar terdapat dari lingkungan.Dalam dunia pendidikan, guru sebagai fasilitator ataupun menjadi penengah. Bukan mengenai konstruktifisme dan konstruktivistik yang ada dalam sekilas sosok guru. Namun sifat dan bawaan yang terpatri sulit sekali diungkapkan secara ilmiah perihal kemampuannya yang unik dalam menghadapi reformasi pendidikan khususnya hoax yang saat ini banyak terjadi. Segala pergantian sistem kurikulum menjadikannya arus, mengasah keterampilannya untuk terus memperbarui kualitas akan kesinambungan antara metode, strategi dan pendekatan.

Sejatinya pendidik sebagai penggerak dapat menginterpretasikan suatu makna akan adanya paradigma yang lebih luas. Memerangi hoax mengandung makna melawan kebodohan yang secara tidak langsung ada dalam setiap individu. Saat kepercayaan yang tinggi diletakkan pada isu tidak jelas dan datang secara tiba-tiba, tidak akan terasa seorang individu bahwasanya dirinya sedang ada dalam kebodohan. Begitu halusnya hoax menggerogoti akal sehat. Ibarat perang, tameng sangat dibutuhkan untuk menahan serangan. Namun, tidak bisa hanya bertahan dengan menggunakan tameng. Perlu senjata yang canggih untuk mengusir sekutu hoax. Senjata itu tidak lain adalah pengetahuan.

Pengetahuan secara cuma-cuma bisa didapatkan melalui pendidik terhitung sejak seragam merah putih, hingga siap untuk menghadapi kerasnya jenjang pendidikan selanjutnya. Saat siswa itu berada dalam kelas tertinggi dalam suatu jenjang, saat itu pula guru mulai memikirkan bagaimana metode yang mempermudah siswanya memahami setiap kesulitan yang menghantui. Buku, artikel, bacaan apapun ia pelajari guna memahami cara yang tepat merasukkan pembelajaran bukan hanya dalam pikiran namun juga dalam benak. Apalah daya guru yang hanya sebagai fasilitator penghantar dan jembatan bagi individu yang akan melangkah. Jika dalam jaman ini guru sering menjadi tersangka utama sebagai pelaku keramaian demonstrasi atas isu permintaan kenaikan gaji.

Mengingat bagaimana seorang guru berproses membawa reformasi disetiap detik, mengangkat derajat mereka yang awalnya tidak mau sekolah dengan rayuan lembutnya, mendidik mereka yang tidak berseragam dengan tangan terbuka, mempersilahkan mereka yang mengintip untuk masuk dan mengikuti pelajaran.Tanpa berpikir panjang itu sebuah tindakan yang pasti dilakukan secara spontan. Pendidik tidak memandang apakah mereka yang ingin belajar dari kalangan lemah atau kuat, miskin atau kaya, dan pintar atau terbatas. 

Bagi pendidik, yang terlintas dipikirannya hanyalah wajah-wajah mereka para pemilikhak yang sama atas masa depannya.Tidak memungkiri siklus kehidupan memang terkadang sangat tidak adil. Tapi bagaimana bisa seorang pendidik memilih untuk tetap bertahan menjadi pengaruh keberhasilan pendidikan di Indonesia. Masihkah dunia menganggap pendidik hanyalah pencari rupiah? Tentunya sebagai pengamat dapat memikirkan betapa pentingnya pendidik, membagikan segenap ilmunya bagi sebuah pikiran yang hampa, pengetahuan yang kelak digunakan sebagai senjata memerangi hoax.

Dalam sisi tertentu, mungkin menganggap bahwasanya pendidikan hanyalah menjadi arena pendidik dalam bertarung agar dapat merebut kepingan rupiahuntuk bertahan hidup. Apakah perubahan sejauh ini masih tak tampak terhitung semenjak adanya pendidikan di Indonesia? Memberikan penilaian hanya dari satu sudut pandang tanpa mengetahui bagaimana kenyataan yang ada. Indonesia tidak akan bisa seperti ini tanpa adanya kualitas dari pendidik. Lantaran mengungkapkan pendidik hanyalah pencari rupiah, mestinya tidak ada mahasiswa yang berprestasi, tidak ada pula ahli bedah dan tidak akan bisa Indonesia berkompetisi dalam lingkup Intenasional. Percayalah Indonesia itu pintar, hanya saja kelemahan terletak ketika mengedepankan rasa takut. 

Hendaklah segera berpikir apakah sesuatu dapat muncul tanpa penghantar? Dalam artian kebenaran apakah yang menghantarkan suatu informasi itu sampai kemari. Pendidik tidak secara otoriter menuntut adanya pemikiran keras dari setiap individu. Pendidik melentangkan wawasan terbuka, memberi peluang, sebagai pendorong dan motivator bagi mereka yang terombang ambing dalam dilemanya.Penuntun hingga dapat mencapai kesimpulan terbaik akan sebuah informasi maupun perkara.

Guru adalah pendoktrin terbaik bagi murid-muridnya. Tak ada satupun siswa yang berani meletakkan keraguan terhadap gurunya. Bahkan sebagian besar dari mereka lebih mempercayai gurunya jika dibandingkan dengan orangtuanya. Pasalnya setiap mereka mengungkapkan pendapat, selalu tentang guru yang menjadi inspiratornya.

Guru bukan memandangnya sebagai rupiah, namun selembar kertas putih yang siap diisi dengan ilmu dan kebaikan. Sepayah mungkin menerapkan rasa berani disetiap sudut pemikiran pembelajaran yang sedang berlangsung. Pendidik menuntun mereka yang lemah menjadi kuat, yang takut menjadi berani, yang tidak bisa menjadi ahli. Pendidik membuka jendela dari kebutaan bagi mereka yang tak mau berusaha. Pendidik sebenarnya tak dapat dilihat secara kasat mata bagaimana keikhlasannya. Masihkah dunia menganggap pendidik berkuantitas, tanpa adanya kualitas terutama dalam memerangi hoax?

Bekerja sebagai seorang pendidik, tidak dapat dinampakkan berapa banyak hitungan rupiah hasil jerih payahnya. Jika dibandingkan dengan pengajaran hidup mengenai, "sejatinya manusia harus bisa menjadi pribadi yang tangguh, karena ketangguhan yang kalian miliki akan membuka kesempatan pada kalian untuk dapat meraih sesuatu yang bernilai." Hanya satu kalimat namun berarti untuk selamanya. Dapat membawa mereka berani menapak tilaskan kaki keliling mengamalkan ilmu, membawa harum nama Indonesia hingga mereka menjadi tanah. 

Siapakah pelakunya? Pendidik lah yang berulah, membuat mereka sanggup dari jatuh. Pendidik yang menjadikan mereka bangun dan kembali melangkah serta terus melangkah. Karena sang pendidik tidak pernah mempermasalahkan berapa kucuran rupiah yang mereka terima. Pendidik tetaplah akan menjadi guru tak peduli problematikanya. Namun adakah yang menyadari didalam naungan ini bahwasanya pendidik yang sebenarnya pembawa pengaruh terbesar dalam kualitas Indonesia hanyalah sebagai minoritas belaka?

Sangat penting memahami akibat dari pendidikan yang rendah, jika bangsa lain menggunakan senapan haruskah Indonesia masih bertahan menggunakan bambu runcing? Kemajuan pola pikir perbandingan akan ketertinggalan Indonesia dengan Negara lain perlu diasah kembali. Supaya Indonesia memiliki tolak ukur sejauh mana harus mengejar. Ketika pendidikan di Indonesia berada diambang keterpurukan, disitulahhoax akan berkuasa. Kehidupan akan jauh tertinggal, mudah mempercayai informasi yang belum tentu benar keberadaannya, tidak adanya kualitas hidup dalam setiap individu, dan tentunya hidup seperti itu tak tertahankan. Hanyalah individu berwawasan rendah yang dengan mudahnya mempercayai hoax. Dikemudian hari kehidupannyapun tidak akan maju dan berkembang. Maka rugilah mereka individu yang tidak segera memperbaiki kualitas pendidikannya.

Untuk itu dalam memerangi hoax perlu meningkatkan kualitas pendidikan terlebih dahulu. Mengasah pikiran setajam mungkin untuk menampung segenap wawasan yang melentang dipikiran. Pengetahuan dan kebenaran dalam bentuk apapun tidak lepas berpedoman pada pengalaman dan pendidik. Namun dimanakah pengalaman itu bisa didapatkan? Tanyakan kepada guru, maka guru akan menjawabnya. Tentang bagaimana, apa dan dimana. Begitupula bagi orangtua hendaklah mendukung anak-anaknya tertib dalam menjalani pendidikan, melatih mental mereka sehingga terciptalah kepekaan memperbaiki mulai dari hal yang kecil hingga meluas. Membuat mereka merasa bahwa dunianya sendiri lebih luas daripada Indonesia, bebas berpikir dan tidak terisolasi. Pendidikan antara orangtua dan guru yang berjalan dengan sempurna diibaratkan seperti "mendorong kereta dengan roda bulat". Begitu sebaliknya jika orangtua memberikan ilmu yang tak seimbang bagaikan "mendorong kereta dengan roda persegi" tak akan berjalan. Jika suatu hari seorang individu tersebut bertemu dengan hoax, maka ia memiliki bekal jawaban atas keberadaan hoax tanpa keraguan. Senjata ilmu dan pengetahuan yang selalu ada dalam kantong kehidupan yang berasal dari guru itu lah yang membuatnya berani memerangi hoax. Lantas, apakah pendidik masih pantas untuk diragukan?

Tidak sepantasnya meragukan kemampuan pendidik di Indonesia. Tidak selayaknya  melemahkan citra guru melalui informasi yang belum tentu kebenarannya. Pahamilah, tidak ada sesuatu yang tidak membutuhkan perjuangan. Demi membuka cakrawala yang luas, seorang pendidik sanggup menentang kemudian menyatukan. Bukankah itu sebuah hal yang sulit dan tak wajar. 

Seperti kutipan dari Supardi Djoko Samono "Mencintai angin harus menjadi siut. Mencintai air harus menjadi ricik. Mencintai gunung harus menjadi terjal. Mencintai api harus menjadi jilat.." Pendidik rela dan mampu menjelma menjadi apapun demi sebuah perubahan. Bahkan terkadang terlihat seperti bukan dirinya ketika menerangkan. Pikirannya bak ilmu yang luas berjajar siap untuk diamalkan. Kasih sayang yang dimilikinya bagaikan lapisan ozon yang melindungi bumi tanpa membedakan, begitu pula dirinya yang dengan lembut memperlakukan muridnya. Tak satu centimeterpun berani melukai. Melakukan yang terbaik bukan diluar kapasitanya, tapi melakukan yang terbaik sesuai dengan kapasitas orang lain. Meskipun terasa sulit, dengan berjuang maka segalanya pasti akan menjadi lebih baik. Lantaran melihat situasi tersebut, masihkah dunia meragukan kemampuan pendidik? Bagaimanakah tolak ukur pendidik berkualitas yang sesungguhnya itu?

Kerap kali cemoohan, ketidakberdayaan dan ketidakberhargaan marak terjadi. Seragam coklat pemberian pemerintah ini, hanya dianggap sebagai buruh Negara. Mematuhi segala peraturan yang berlaku, sekalipun HAM serasa hampir tidak berlaku. Namun tetap bertahan sebagai seorang pendidik sampai akhir hayatnya. Berita hoax pendidik sekali terjadi rasanya cepat-cepat untuk harus segera dipublikasikan, tanpa adanya identifikasi permasalahan. Sedikit kesalahannya, distigmakan sebagai penganiayaan yang harus segera dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Begitu sensitifnya para orangtua akan hoax yang menyelimuti dunia pendidik. Apalah arti sebuah Negara tanpa adanya pendidik?

Mengubah mindset mengenai hoax tidaklah sulit. Cukup dengan berpengalaman luas dan berpendidikan dapat menjadikan bekal bagi kita untuk memilah keberadaan sesuatu yang benar maupun tidak benar. Hilangkanlah segala keraguan terhadap pendidik yang selama ini bercitrakan negatif. Citra guru yang selama ini hanya dianggap sebagai pencari rupiah belaka hanyalah hoax. Itulah alasan mengapa bangsa Indonesia jauh tertinggal. Hampir sebagian besar masyarakatnya tidak meletakkan kepercayaan terhadap pendidiknya. 

Lucunya negeri ini, kapasitas kemampuan berpikir para pelajar terbukti memiliki rating rata-rata atas. Namun kelemahan terletak hanya karena satu hal yang sepele yakni Indonesia jauh tertinggal karenamental masyarakatnya yang lemah dan terlalu mengutamakan takut dalam mengambil peluang. Sembari merasakan ketakutan yang ada, menjalani hidup hanya bertujuan untuk makan saja sudah cukup. Sehingga beberapa individu terkadang tidak memiliki tujuan hidup yang berkualitas, tidak memiliki pengetahuan dan ilmu untuk memerangi hoax.

Mari merubah negeri ini menjadi suatu kesatuan yang kuat dan kompak. Mengapresiasi upaya pendidik dan menatap Indonesia dengan penuh harap. Merubah pola pikir menciptakan paradigma yang kokoh memerangi hoax. Menjadi pribadi yang berguna sebagai pembawa panji reformasi, berani terlibat dalam pengaruh perubahan, mengharumkan nama Indonesia sampai tercium oleh hidung mancanegara. Merealisasikan apa yang menjadi tujuan utama bangsa Indonesia dengan pendidikan dan mental yang kuat.

Karya : Yeksi Devitasari

#antihoax

#pgrijateng

#marimas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline