Lihat ke Halaman Asli

Yuniar Eka Risti

Berbagi cerita dan pengalaman lewat tulisan

Wedangan, Bukan Tujuan Kuliner Belaka

Diperbarui: 11 November 2022   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Serabi, selat solo, nasi liwet. Hampir semua orang mengenal dan pernah mencicipi makanan khas kota Solo. Solo memang terkenal dengan khazanah kulinernya. Bicara soal urusan perut, wedangan menjadi daya tarik kota budaya ini dari sisi yang lain.

Wedangan berasal dari Bahasa Jawa, wedang yang artinya air minum. Dari asal usul itu muncul kata wedangan yang ditunjukkan dalam bentuk penjual jajan malam di gerobak. Beberapa, menyebut HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Sama saja.

Berlatarkan gerobak kayu dengan payung terpal, nasi yang dibungkus dengan daun pisang berisi sekerat bandeng dan secuil sambal dijajakan wedangan. Ditambah lagi jajaran sate mulai dari sate usus, ati ampela, telur puyuh, sate apus yang terbuat dari tepung dan ampas tahu yang rasanya mirip daging, dan masih banyak lagi. Tahu dan tempe bacem, pisang goreng, bakwan juga jadi ciri khas dagangan khas wedangan.

Tak layak disebut wedangan kalau tidak menjual minuman nikmat. Mulai dari sajian teh. Banyak yang bilang "teh-e wong Solo tu enak". Ginastel. Legi panas kentel. Tak hanya teh, wedangan juga menyediakan aneka kopi. Tapi kopi bukanlah gong dari wedangan. Nomor wahidnya adalah wedang jahe.

Jahe yang dibakar, kemudian digepuk, diberi tambahan gula batu dan dituang dengan air mendidih. Oh nikmatnya! Turunan dari wedang jahe sangat beraneka ragam. Mulai dari jahe susu, jahe kencur jeruk, teh jahe, jahe coklat. Semua layak dicoba.

Namun saya rasa yang utama dari sebuah wedangan bukanlah makanan dan minuman yang bermacam-macam. Wedangan menjadi daya tarik tersendiri baik bagi orang Solo, pendatang, maupun wisatawan. Harganya yang murah menjadikan wedangan menjadi tujuan utama kuliner malam.

Terlebih lagi wedangan masa kini tak hanya ditampilkan dengan penganan yang dijejer di gerobak beratap terpal dan bercahayakan teplok. Wedangan menjadi hal yang kekinian di kota Solo. Wedangan ala cafe dengan lampu remang, live music, karaoke, dan makanan yang lebih bervariasi mulai marak di kota Solo.

Wedangan yang dulunya dijadikan untuk tempat ngeteh atau sekadar ngemil sekarang berubah menjadi tempat kumpul klub gowes, reuni sekolah mulai dari teman waktu taman kanak-kanak sampai kuliah, dan arisan bunda-bunda.

Saya memaknai wedangan bukan hanya tujuan kuliner atau tempat makan belaka. Wedangan jadi wadah buat semua orang. Tua, muda, miskin, kaya, laki-laki, perempuan. Semua berkumpul. Bercengkerama. Mendengarkan dan didengarkan.

Saya rasa wedangan memang wadah yang pas untuk mengisi dan memenuhi kebutuhan utama manusia. Makan, minum, bicara, mendengarkan dan berkumpul. Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline