Belajar dari Merapi menjadi sebuah kalimat yang membekas dalam relung hati saya sepulang dari kegiatan Live In di lereng Merapi tepatnya di Desa Mangunsoko, Magelang, Jawa Tengah. Bersama dengan 181 anak yang saya cintai dan 14 rekan yang saya kasihi, kami tinggal di desa tersebut selama 3 hari.
Saya menikmati hari, jam, menit, bahkan detik saat saya tinggal di desa nan indah dan asri tersebut. Keindahannya saya temukan melalui masyarakat yang ada di sana dan keasriannya saya rasakan melalui alam yang luar biasa megahnya. Pada hari pertama, kami disambut layaknya keluarga mereka sendiri yang datang dari jauh. Mengejutkan! Mereka rela meluangkan waktu kerja mereka untuk menunggu kedatangan kami di rumah mereka. Keramahan dan ketulusan tampak dari raut wajah mereka saat mempersilahkan saya masuk ke dalam rumah mereka. Mereka menyediakan makanan yang terbaik dengan rasa yang luar biasa lezatnya. Saya belajar banyak tentang keramahan, ketulusan, dan kepedulian yang keluarga angkat saya berikan.
[caption id="attachment_252746" align="aligncenter" width="571" caption="hamparan sawah Desa Mangunsaka *foto pribadi"][/caption]
Hari kedua tidak kalah menarik dari hari pertama. Saya dan rekan saya bersama dengan 2 orang siswa diajak melihat ladang tempat mereka beradu setiap hari demi menghidupi keluarga mereka. Semilir angin yang sejuk bersama teriknya matahari menemani perjalanan kami ke ladang. Kami melewati pohon bambu dengan batang yang sangat besar, berbeda dengan pohon bambu yang pernah saya jumpai. Di sepanjang jalan terdengar aliran air yang berjalan dalam selokan. Air yang bersih dan jernih berbeda dengan air yang ada di selokan daerah tempat saya tinggal. Akhirnya tibalah kami di ladang yang sangat luas. Kami menjumpai berbagai macam tanaman yang semuanya untuk kehidupan sehari-hari. Ada padi, jagung, tomat, cabai, dan berbagai macam jenis sayur-sayuran lain. Sebagian mereka jual, sebagian lagi mereka bagikan kepada tetangga-tetangga. Ditengah rendahnya harga jual hasil alam para petani, mereka mampu membagikan sebagian hasil mereka kepada tetangga-tetangga. Budaya saling memberi menjadi bagian dari hidup mereka karena menurut mereka “alam sudah beri banyak maka kita juga perlu memberi”. Menarik sekali.
Setelah itu kami melanjutkan perjalan ke Sungai Senowo yang sudah tidak kelihatan lagi kalau itu adalah sungai. Isinya dipenuhi dengan pasir dan batu-batu bekas letusan gunung Merapi tahun 2010 yang lalu. Letusan gunung Merapi yang merupakan bencana alam dalam beberapa waktu tertentu tetapi menjadi berkah bagi masyarakat lereng Merapi. Pasir yang dimuntahkan oleh Merapi diambil dan dijual oleh masyarakat sekitar untuk pembangunan. Merapi memberikan mata pencaharian yang baru bagi masyarakat di desa itu. Masyarakat pun bersyukur tinggal di lereng Merapi.
[caption id="attachment_252747" align="aligncenter" width="300" caption="Sungai Senowo (foto pribadi)"]
[/caption]
Tidak terasa hari ketiga, hari terakhir pun datang dengan cepat. Seperti pepatah mengatakan “save the best for the last” maka itulah yang terjadi di hari terakhir ini. Kami diajak untuk hiking menuju pos pengamatan gunung merapi yang berada 3 km dari puncak gunung Merapi. Hal yang sebenarnya saya hindari setelah menonton film 5 cm adalah hiking, namun kesempatan itu menghampiri saya. Kami diangkut dengan truk besar melewati jalan yang kecil untuk sampai di titik awal tracking. Sangat menegangkan saat berada di atas truk tetapi begitu menyenangkan karena seperti sedang menaiki salah satu wahana yang ada di Dufan. Kemudian tracking pun dimulai dan kami semua berjalan kaki satu per satu menyusuri tapakan yang sangat sempit. Awalnya kami bernyanyi-nyanyi karena sangat senang namun lama-kelamaan medan yang kami tempuh mulai berat. Semuanya tanjakan yang hampir-hampir mencapai 90° jika diukur dengan menggunakan busur. Terdengar arahan dari petugas “jangan bicara, simpan tenaga, simpan oksigen karena tanjakan tinggi”. Saya yang takut namun akhirnya harus memberanikan diri karena saya membawa murid-murid yang membutuhkan pertolongan juga. Seperti sebuah tantangan, kami melewati tanjakan demi tanjakan tersebut dengan berpegangan pada batang pohon dan rerumputan di samping kanan atau kiri. Berjalan dengan hati-hati karena di samping juga ada hamparan tebing yang sangat dalam, begitu indah namun mengerikan kalau ada yang jatuh kesitu. Ketika ada turunan sepertinya kami mau meluncur disitu karena sangat curam. Kami saling berpegangan ketika menempuh medan yang sulit seperti itu. Ironis, dalam perjalanan kami bertemu dengan para petani yang sudah berumur namun begitu lincah dalam menapaki tanjakan maupun turunan sambil membawa rerumputan di kepala mereka, sedangkan kita yang masih muda namun sepertinya sulit melewati tanjakan ataupun turunan tersebut. Tubuh mengeluarkan keringatan yang banyak namun tidak mengapa karena dalam perjalanan kami pun menikmati karya Tuhan melalui megahnya alam Merapi.
[caption id="attachment_252748" align="aligncenter" width="300" caption="saat menaiki tanjakan Merapi (foto pribadi)"]
[/caption]
Setelah melewati perjalanan yang lama, tibalah kami di Pos Pengamatan Gunung Merapi Babadan 1279 meter dpl. Di pos inilah, petugas bisa mengarahkan status gunung Merapi sehingga warga bisa siap ketika Merapi dalam status waspada. Kami menyaksikan indahnya Merapi secara dekat. Embun menutupi puncak Merapi seakan Merapi malu menampakkan wajahnya. Namun lama kelamaan dalam beberapa menit saja Merapi menunjukkan kemegahannya. Begitu INDAH!
[caption id="attachment_252749" align="aligncenter" width="300" caption="3 km dari puncak Merapi (foto pribadi)"]
[/caption]
Pengalaman yang tak akan terlupakan ketika saya bisa belajar dari Merapi. Belajar dari masyarakat yang tinggal di lereng Merapi, belajar dari keindahan alam yang luar biasa, belajar untuk bersyukur atas ciptaan Tuhan yang begitu indah, dan belajar untuk saling berbagi dengan sesama. Saya menanti waktu untuk melihat Merapi dan masyarakat yang sudah menjadi keluarga di kesempatan berikutnya. Terima kasih Merapi! Terima kasih Tuhan!
with love,
YRPT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H