Lihat ke Halaman Asli

Yohanes Budi

Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

Mengulik Cerita Rakyat "Aji Saka"

Diperbarui: 10 Januari 2021   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita rakyat merupakan cara suatu kelompok mewariskan suatu nilai atau budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya. Cerita rakyat atau folklor menurut KBBI adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan.

Hampir semua provinsi di Indonesia memiliki folklor, dalam berbagai varian bentuk, seperti mitos, legenda, dongeng, nyanyian rakyat, dan upacara. Salah satu cerita rakyat dari Jawa Tengah yang sangat populer adalah kisah Aji Saka. Aji Saka dikenal sebagai tokoh sakti mandraguna yang berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka juga diyakini sebagai tokoh pencipta aksara Jawa: ha na ca ra ka.

Mendengar kelaliman Prabu Dewata Cengkar yang gemar makan daging manusia, jiwa ksatria Aji Saka tergugah untuk menyelamatkan rakyat. Dengan sorbannya yang sakti, Aji Saka berhasil melemparkan Dewata Cengkar ke Laut Selatan dan mengubahnya menjadi seekor buaya putih. Sejak itulah, Aji Saka yang berasal dari dusun Medang Kawit, desa Majethi, Jawa Tengah diangkat menjadi raja di Medang Kamulan, menggantikan Dewata Cengkar.

Sebelum pergi mengembara, Aji Saka berpesan kepada Sembada, abdinya, untuk menjaga keris pusakanya di Gunung Kendeng. Keris itu tidak boleh diberikan kepada siapapun, selain kepada Aji Saka. Pergilah Aji Saka dan Dora, abdinya yang lain, berkelana, hingga sampai di Medang Kamulan.

Setelah menjadi raja, Aji Saka mengutus Dora untuk mengambil keris pusakanya di Gunung Kendeng. Maka, pergilah Dora menemui Sembada hendak melaksanakan titah Aji Saka. Sementara, Sembada tetap berpegang teguh pada pesan Aji Saka agar tidak menyerahkan keris kepada orang lain selain Aji Saka sendiri.

Dora dan Sembada pun bersitegang. Keduanya sama-sama teguh memegang prinsip dan tanggung jawab yang diberikan tuannya. Dalam pertarungan sengit, akhirnya keduanya pun tewas. 

Mendengar kematian kedua abdinya, Aji Saka bersedih. Maka untuk mengenangnya, Aji Saka membuat dhentawyanjana (denta: gigi, wiyanjana: tulisan) atau aksara Jawa berjumlah 20 huruf, diawali dengan huruf "ha" dan diakhiri dengan huruf "nga", yang biasa dikenal "Hanacaraka"

Secara harafiah, aksara Hanacaraka mengisahkan tentang adanya (dua) utusan yang sama-sama memegang prinsip, bertarung hingga mati. Tulisan Aji Saka kemudian dikenal dengan nama Carakan dan menjadi asal mula Aksara Jawa.

Ha-na-ca-ra-ka  = ada utusan

Da-ta-sa-wa-la  = saling berselisih 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline