"Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama (88), meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9/2020). Jakob wafat karena mengalami gangguan multiorgan. Usia sepuh kemudian memperparah kondisi Jakob hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir..."
Demikian kabar dari kompas.com (9/9/2020) yang menyeruak tiba-tiba. Meski kematian adalah keniscayaan, tetapi jika orang besar seperti Jakob Oetama yang pergi untuk selamanya, itu adalah sebuah kehilangan yang tak terduga. Usia ada batasnya, tetapi gagasan dan spiritualitas humanisme-nya tak bisa dipagari oleh batas-batas tertentu.
Peristiwa kematian adalah cermin bagi orang yang masih hidup, demikian kata Heidegger. Ucapan bela sungkawa dan kesaksian yang disampaikan kerabat dan sahabat menjadi salah satu penanda seberapa besar kebaikan yang dimiliki. Dan, Pak Jakob telah mewariskan kearifan pribadi dan keutamaan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi yang harus dijunjung.
Kecintaannya menjadi guru, menjadi dasarnya untuk selalu membagi syukur dan ketulusan. Ia memberi sekaligus menimba spiritualitas. Kemahirannya sebagai wartawan, menjadi pisau bedah perhatiannya pada kemanusiaan.
Membela manusia, berarti mengagungkan Yang Menciptakan manusia. Romo Mangunwijaya menerjemahkannya sebagai "memanusiakan manusia". Demikianlah keutamaan Jakob yang tak lekang oleh waktu.
Pada saatnya, kita juga akan berpulang. Namun, bagaimana menjalani hidup, bermanfaat dan bermakna bagi orang lain, adalah keutamaan kita semua, yang sudah seharusnya.
Selamat jalan bapak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H