Teras Koja, di sini-malam ini, tiba-tiba aku menggila puisi. Puluhan lelaki dan wanita, menari-narikan kata-kata, sambil melukis malam dengan seruan dan pekik kebebasan. Bahkan hampir-hampir, bumi runtuh oleh getaran jejak-jejak kaki yang meledak di tubuh puisi.
Tiga November. Teras Koja, di sini, di belakang perkotaan yang padat, sungguh menyenangkan dan tak terduga, keriap seni dan budaya bertumbuh subur, indah nan asri. Memang aku yang kuper dan kurang menggila puisi. Tetapi, malam ini, aku menggila puisi. Keriangan, kepenatan, dan polah tingkah apapun menyatu di sini.
Nyaris tidak ada sekat apapun di sini. Ini memang ruang terbuka. Dan di sinilah, puisi menjadi hidup dan amat kaya makna. Puisi yang dibedah dan ditembakkan berlaksa meriam ke sudut-sudut waktu, seakan menunjukkan dahsyatnya kebebasan.
Teras Koja, yang sedang dibakar api Soempah Pemoeda, di sini, puisi dinikmat dengan merdeka. Anak-anak, remaja, dewasa, dan kaki nini membaur tanpa ragu, sambil meneguk pahit manisnya puisi. Sungguh, puisi bermetamorfosa sebagai sajian berkelas layaknya konser klasik di Piazza Duomo, Milan atau tontonan opera di La Scala Italia.
Terus berkarya. Salam @Komunitas Trotoar, Tanjung Priok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H