Judul ini mungkin agak menyinggung beberapa orang yang tinggal di sekitar Jakarta, seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan daerah lain sekitar Jakarta, tetapi justru faktanya memang demikian. Setidaknya itu yang dirasakan masyarakat yang tinggal dan hidup di pinggiran Jakarta. Mengapa Jakarta beruntung?
Setidaknya, Jakarta sudah mulai berubah lebih baik, haruslah kita akui, perubahan paling banyak di sektor pelayanan publik, pengurusan surat-surat kependudukan saat ini jauh lebih mudah, cepat, dan nyaman, serta yang paling penting adalah tidak adanya lagi pungli. Semua sudah sesuai aturan dan bahkan suasana di kantor-kantor pemerintahan yang melayani masyarakat sudah seperti di bank. Proses penggusuran juga sudah jauh lebih manusiawi, korban gusuran sudah disediakan rusun yang lengkap dengan perabotannya, pedagang kaki lima disediakan tempat berdagang yang layak dan beberapa pasar sudah direvitalisasi dengan baik. Belum lagi proses pembersihan sungai-sungai untuk mencegah banjir sudah rutin dilakukan, sekarang beberapa titik-titik sungai yang biasanya kumuh sudah mulai terlihat lebih baik, untuk sektor transportasi, walau kemacetan masih terjadi setidaknya proses pembangunan sarana dan prasarana untuk mengurangi kemacetan telah dilakukan seperti MRT, penambahan BRT baik Transjakarta maupun Transjabodetabek yang menyambung hingga pinggiran Jakarta, serta yang tidak kalah penting adalah sudah mulai bertambahnya ruang publik seperti taman-taman yang dapat dimanfaatkan oleh warga. Hebatnya itu dilakukan ketika serapan anggaran di DKI Jakarta dikatakan sebagai salah satu yang terendah di Indonesia, yaitu hingga Agustus 2015 hanya sekitar 19,4 %. Sedangkan tahun 2014 lalu serapan anggaran DKI Jakarta hanya 36,07% menjadi yang terendah sepanjang sejarah Ibukota Jakarta. Jadi bisa dibayangkan bila serapan anggaran tinggi akan seperti apa lagi Jakarta?
Tulisan ini bukan untuk saya memuji-memuji setinggi langit pemimpin Jakarta yang sekarang dan seolah-olah dijadikan ajang kampanye mendukung incumbent yang berniat maju lagi dari jalur independen, akan tetapi ingin menunjukkan fakta. Bahwa perubahan tersebut mulai terjadi ketika Jokowi – Ahok mulai memimpin Ibukota, bahkan ketika pimpinan diestafetkan ke Ahok, Jakarta tetap melakukan perubahan yang lebih baik. Kekurangan tentu masih ada di diri pimpinan Jakarta, walau begitu kita tidak bisa menutup mata atas semua perubahan yang terjadi. Setidaknya saat ini bisa dibilang bahwa Jakarta beruntung dipimpin gubernur sekelas Ahok, dan sial bagi daerah-daerah sekitar Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan lainnya, mengapa sial?
Ada 3 sial yang dapat dijabarkan bagi daerah-daerah sekitar Jakarta:
- Sial pertama yaitu tidak pernah ada calon-calon berkualitas. Tahun 2017, DKI Jakarta akan melakukan pemilihan, saat ini sudah mulai bermunculan calon-calon yang akan maju dalam Pilkada. Dengan tingginya tingkat keterpilihan dari sang incumbent, DKI Jakarta sesungguhnya sedang beruntung. Sangat yakin bahwa setiap partai akan mencalonkan kader atau tokoh-tokoh yang terbaik dari seluruh nusantara, beberapa calon yang punya track record baik mulai bermunculan, yaitu Ridwan Kamil sang Walikota Bandung, Adhyaksa Dault, mantan Menpora, Sandiaga Uno, Pengusaha muda yang sukses, sampai ke Tri Risma Harini, walikota Surabaya yang bukan tidak mungkin akan dimajukan bila terus menerus tidak mendapat lawan dalam Pilkada Surabaya. Sangat beruntung bukan Jakarta? Semua calon berkualitas. Apakah hal yang sama terjadi di Pilkada daerah sekitar Jakarta? Sayangnya tidak. Mengapa tidak ada? Jawabannya adalah daerah sekitar Jakarta terlalu mudah dikondisikan sehingga tidak menarik tokoh-tokoh nasional berkiprah di daerah-daerah tersebut, alasan lainnya susah mendobrak dinasti-dinasti yang sudah mapan disana. Berdasarkan pengamatan, daerah-daerah sekitar Jakarta itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok apatis dan kelompok tradisional. Kelompok apatis adalah kelompok yang tidak peduli siapapun pemimpinnya karena tidak akan berpengaruh banyak ke kehidupan mereka, terlebih lagi banyak dari mereka yang bekerja dan mencari nafkah di Jakarta, dan menjadikan daerah sekitar Jakarta hanya untuk tempat tinggal di hari Sabtu dan Minggu. Kelompok ini biasanya akan aktif berpartisipasi bila terdapat calon yang dikenal dan mempunyai kualitas yang baik, bila tidak ada, jangan harap kelompok ini mau buang-buang waktu memberikan suara ke salah satu calon. Biasanya golongan ini adalah golongan menengah ke atas. Lalu kelompok kedua adalah kelompok pemilih tradisional, yaitu pemilih yang mudah sekali ditaklukkan karena secara sosiologis dan psikologis mereka tidak akan berpindah pilihan dari suatu partai tertentu, suatu klan keluarga tertentu, atau bahkan suatu agama dan suku tertentu, walaupun tidak ada perubahan bagi daerah mereka, maka tidak heran kemudian terbentuk dinasti di daerah tersebut, dinasti tidak hanya berupa keluarga tertentu akan tetapi juga dinasti partai tertentu dengan agama tertentu. Contoh Depok, 2 periode dipimpin oleh walikota yang sama, tidak ada perubahan yang berarti di Depok selain bertambahnya apartemen dan mall. Fasilitas publik memprihatinkan, ruang publik minim, ditambah lagi pelayanan birokrasi yang kurang menyenangkan. Bila tidak ada perubahan, mengapa walikota tersebut bisa 2 periode? Satu sisi pemilih tradisional sangat kuat memilih siapapun calon dari partai tersebut, di sisi lain, golongan apatis tidak tertarik untuk terlibat dalam pemilihan, karena tidak ada calon yang dianggap berkualitas maju di Pilakda. Hasilnya, tidak pernah ada calon-calon yang terbaik diusung daerah Depok. Ini tidak Cuma Depok, hal sama juga terjadi di daerah sekitar Jakarta lainnya.
- Sial kedua yaitu Standar tinggi bagi perubahan di daerah sekitar Jakarta. Ketika DKI Jakarta mulai terasa perubahan yang signifikan, sial bagi daerah di sekitar Jakarta, standar tinggi DKI Jakarta tersebut juga menjadi tolok ukur perubahan di daerah sekitar DKI Jakarta. Sebagai contoh : di sektor pelayanan publik. Tolok ukur perubahan pelayanan publik tidak lagi soal tidak ada pungli dan kecepatan, tetapi juga soal keramahan dan kenyamanan. Bila terjadi perubahan di daerah sekitar Jakarta, dengan tidak ada pungli bagi pengurusan segala macam surat di pemerintahan, maka hal itu tidaklah cukup bila kantor pelayanan kondisinya masih semrawut tidak nyaman seperti di bank, tidaklah cukup bila sang pelayan masyarakatnya masih melayani dengan muka muram, masam dan tanpa senyum. Sehingga bila seorang kepala daerah di sekitar Jakarta mengatakan sekarang pelayanan publik lebih baik tanpa pungli dan cepat, jangan bersenang hati dulu, standar penilaian kalian oleh masyarakat sekarang sudah tinggi yaitu minimal seperti perubahan di Jakarta. Tentu ini menjadi sebuah kesialan bagi masyarakat di daerah sekitar Jakarta, ketika mereka dapat melihat perubahan dengan standar tinggi di Jakarta, sedangkan pemimpin daerahnya sendiri sudah cukup puas dengan perubahan minimalis yang berhasil dilakukan.
- Sial ketiga, serapan anggaran lebih tinggi dan perolehan opini WTP dari BPK. Hampir seluruh daerah di sekitar Jakarta mempunyai serapan anggaran lebih tinggi dari Jakarta, dan sebagian besar daerah sekitar Jakarta memperoleh opini dari BPK Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), kecuali Kota Bekasi yang pada tahun 2015 ini memperoleh opini sama dengan Jakarta yaitu Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Terjebaknya pemimpin daerah dengan indikator serapan anggaran tinggi dan perolehan opini WTP dari BPK yang dimunculkan secara besar-besaran di media lokal setempat, seolah-olah prestasi pemerintah ini bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya hal ini bisa menjadi bumerang, karena ada daerah yang serapan anggaran kecil, hanya memperoleh opini WDP dari BPK, tetapi mengapa lebih terasa perubahannya? Serapan anggaran DKI Jakarta salah satu yang terendah di Indonesia, tetapi di Jakarta telah banyak perubahan yang terjadi, sedangkan serapan anggaran yang lebih tinggi di daerah sekitar Jakarta tanpa ada perubahan yang berarti, maka masyarakat daerah tersebut tentu akan bertanya-tanya dan berpikir negatif, anggaran terserap apakah untuk bancakan korupsi? Apakah hanya untuk membangun mall dan apartemen dengan mengurangi resapan air dan ruang publik? Apakah anggaran hanya untuk proyek-proyek yang bikin gembul pejabat daerah? Mengapa Jakarta mampu berubah dengan serapan anggaran lebih kecil? Apakah pemimpin daerah kita kerjanya hanya habiskan anggaran saja tanpa konsep pembangunan dan perubahan yang jelas? Semua pertanyaan itu akan berputar di masyarakat daerah-daerah yang ada di sekitar Jakarta. Masyarakat tentu akan merasa sangat sial, ketika anggaran banyak dipakai oleh Pemimpin daerahnya, tetapi hasilnya tidak terasa bagi mereka, lebih sial lagi, pikiran-pikiran negatif masyarakat bisa dipatahkan oleh Pemda dengan menunjukkan opini WTP dari BPK. Ibaratnya pemimpin daerah tersebut ingin mengatakan kepada rakyatnya, “gw bersih loh yah, jadi lo jangan mikir macem.”
Lalu sampai kapan 3 sial itu selesai menimpa daerah-daerah sekitar Jakarta? Atau malah harus menunggu DKI Jakarta dipimpin oleh seorang Gubernur dengan standar lebih rendah dari Gubernur yang sekarang? Sehingga pemimpin-pemimpin daerah akan mengelus dada lega sambil mengatakan dalam hati, “Untung bukan si Ahok lagi Gubernur Jakarta.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H