Belum genap 1 bulan pemerintahannya berjalan, Jokowi yang baru saja dilantik pada 20 Oktober 2014 telah membuat keputusan berani yaitu mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor yang produktif dan untuk pembiayaan infrastruktur negara atau dengan kata lain menaikkan harga BBM.! Mengapa Jokowi berani? Tidak takutkah Jokowi melanggar UU sehingga menciptakan peluang untuk diimpeacht oleh musuh-musuhnya yang begitu ngebet untuk menjatuhkan Jokowi? Mari coba kita lihat faktanya.
Kuota untuk BBM bersubsidi pada tahun 2014 yang ditetapkan oleh pemerintahan SBY pada APBNP 2014 yaitu sebesar 46 juta Kiloliter. Menariknya, angka 46 juta kiloliter ini justru sengaja diturunkan oleh pemerintahan SBY dari angka semula sebesar 48 jutakiloliter pada APBN 2014. Anehnya ketika melakukan penetapan untuk menurunkan angka besaran kuota bbm bersubsidi tersebut pihak pemerintah saat itu tahu bahwa justru tingkat konsumsi masyarakat meningkat dikarenakan berbagai faktor. Salah satu indikator peningkatan penggunan BBM bersubsidi tersebut yaitu dapat dilihat dalam data penambahan jumlah kendaraan mobil sebesar 1,2 juta unit dan penambahan sepeda motor 11 juta unit pada tahun ini. Di samping faktor-faktor lain seperti adanya libur sekolah, libur akhir tahun, libur lebaran, dan peristiwa besar yaitu Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang juga membuat tingkat konsumsi BBM bersubsidi meningkat. Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah saat itu justru menurunkan kuota bbm bersubsidi di APBNP 2014? Bila kita berpikiran positif, ah tidak mungkin SBY menjebak Jokowi dengan permainan kuota BBM subsidi, mungkin SBY hanya optimis bahwa di akhir pemerintahannya beliau dapat menekan penggunaan BBM bersubsidi oleh masyarakat.
Oleh karena akibat dari tidak terkendalinya penggunaan BBM bersubsidi tersebut, maka PT Pertamina memprediksi bahwa kuota BBM bersubsidi yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam APBNP 2014 tidak akann cukup hingga akhir tahun atau mengalami over kuota sebesar 1,62 juta kl. Dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh PT Pertamina skenario terburuk adalah kuota BBM bersubsidi akan habis pada awal Desember 2014. Sekali lagi, bila kita menggunakan pendekatan pemikiran positif, seharusnya target kuota BBM bersubsidi 48 juta kl pada APBN 2014 sangatlah cukup hingga akhir tahun 2014, akan tetapi mungkin Bapak SBY sangat ingin mendukung program Jokowi yang ingin mengalihkan segera dana subsidi BBM kepada sektor-sektor yang lebih produktif dan pembangunan infrastruktur, sehingga pada APBNP 2014 kuota BBM bersubsidi dikurangi sebesar 2 juta kl hingga menjadi 46 juta kl.
Lalu apa akibatnya bila kuota BBM bersubsidi habis atau melebihi dari yang telah ditetapkan oleh pemerintah? Konsekuensinya sangat jelas, pemerintah tidak dapat mengedarkan BBM bersubsidi kepada masyarakat. Apakah artinya itu? Artinya Tidak ada lagi BBM subsidi setelah awal Desember 2014, atau dengan bahasa sederhana harga BBM akan sesuai dengan harga pasar pada saat ini, yaitu melebihi Rp 10 ribu. Suka tidak suka, senang tidak senang, bila terjadi seperti itu, masyarakat harus dan wajib mengkonsumsi BBM non subsidi tersebut. Inilah yang menjadi simalakama bagi pemerintahan Jokowi.
Bila mengacu pada UU yaitu UU No 12 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2014, secara garis besar dikatakan bahwa presiden harus berkonsultasi dengan DPR bila ingin merubah jumlah kuota atau bila ingin membuat kebijakan menaikkan harga BBM. Akan tetapi kebijakan menaikkan harga BBM bisa langsung dilakukan bila memenuhi persyaratan khusus yaitu harga minyak dunia diatas $105/barel. Sedangkan beberapa pihak ahli hukum mengatakan bahwa bila pemerintah tidak membuat kebijakan untuk mencegah habisnya kuota BBM yang berdampak pada tidak adanya subsidi sehingga BBM harus dijual dengan harga non subsidi, maka hal ini dianggap tidak sesuai dengan napas UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 sehingga berpotensi digunakan sebagai senjata untuk memakzulkan presiden. Dalam menghadapi dilema seperti ini, pertanyaannya adalah apakah DPR siap? Seperti kita ketahui bersama bahwa DPR masih tetap ribut sendiri hanya untuk bagi-bagi posisi dan bahkan terpecah menjadi dua. DPR tidak mampu mengikuti ritme kerja dari Jokowi. Ketika keputusan harus diambil, DPR belum juga bersatu dan bahkan belum mempunyai Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Ketika bom waktu yang bernama habisnya kuota subsidi BBM akan meledak, DPR belum juga bisa diajak untuk konsultasi oleh pemerintah. Jadi harus sampai kapan pemerintah menunggu?
Disinilah keberanian Jokowi berbicara, beliau harus memutuskan sebagai seorang kepala negara. Beliau bukan orang yang tidak tahu aturan atau hukum, dan sangat yakin bahwa Jokowi mengetahui hukum sehingga lebih memilih yang lebih kecil konsekuensi hukumnya sehingga pilihan akhirnya dijatuhkan untuk menaikkan harga BBM di tengah harga minyak dunia yang justru menurun. Bukan karena tidak peka kepada nasib rakyat, bukan karena ingin mengakhiri bulan madu dengan rakyat, akan tetapi karena keadaan memaksa beliau untuk memutuskan kebijakan tersebut dan mendapat dana ektra untuk mewujudkan janji-janjinya.
Di satu sisi, kebijakan menaikkan harga BBM tanpa konsultasi dengan DPR melanggar UU, di sisi yang lain kebijakan tidak menaikkan BBM justru akan membuat pemerintah menjual BBM dengan harga non subsidi dan itu berarti melanggar UUD 1945 , di sisi yang lebih jauh bila kebijakan yang diambil adalah pembatasan BBM bersubsidi justru akan membuat kondisi sosial ekonomi jauh lebih tidak stabil, bukankah kita pernah merasakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tersebut yang berakibat langkanya BBM di pasaran, antrean BBM di SPBU-SPBU dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akibat kelangkaan BBM?
Sampai pada satu titik inilah kita dapat merasakan keberanian seorang Jokowi dan niat beliau bagi bangsa dan negara ini, mengambil keputusan dalam berbagai pilihan yang buruk, bukan malah menyalahkan masa lalu atau pemerintahan lalu, bukan malah menyalahkan masyarakat yang menggunakan BBM subsidi seenaknya, dan bukan juga menyalahkan DPR yang tetap berantem hanya demi sebuah kursi sehingga mengganggu kinerja pemerintah, akan tetapi beliau lah yang kemudian maju ke depan podium, mengumumkannya menghadapinya sendiri, dan kemudian memberikan contoh bahwa seorang Presiden tidak cukup hanya dengan prihatin, prihatin, dan prihatin akan tetapi harus melakukan tindakan dan aksi nyata sesuai jargonnya kerja, kerja dan kerja. Kalaupun saat ini DPR berteriak-teriak Interpelasi dan ingin memakzulkan Presiden akibat melanggar UU akibat menaikkan harga BBM, kita sebagai rakyat patut bertanya ke mereka, dimana kalian ketika kami dalam keadaan susah dan terdesak? Apakah di pikiran kalian hanya berupa kursi dan proyek?
Yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H