Lihat ke Halaman Asli

Awal Buruk Kepemimpinan Setya Novanto

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setya Novanto, Ketua DPR, politisi senior Partai Golkar harus mengawali masa kepemimpinannya dengan suatu peristiwa yang tidak mengenakan. Terjadi kericuhan di rapat paripurna.

Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar menjungkirbalikan meja saat rapat paripurna membahas penetapan alat kelengkapan Dewan. Azwar meradang kepada Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dari Demokrat, selaku pimpinan rapat, karena tidak menggubris penjelasan darinya.

Kekisruhan bermula dari disahkannya daftar nama anggota Fraksi PPP yang disampaikan anggota Fraksi PPP, Epyardi Asda. Padahal daftar nama itu tidak dikeluarkan oleh DPP PPP hasil Muktamar PPP di Surabaya dimana Romahurmuziy sebagai ketua umum baru menggantikan Suryadharma Ali. Karena itu daftar nama versi Epyardi yang ditandangani Suryadharma Ali tidak sah.

Sebaliknya, Epyardi Asda yang memasukkan daftar nama itu ke pimpinan DPR justru menganggap status Azwar yang tidak sah.

Ketidakpiawaian memimpin

Ketua Asosiasi Kepala Desa sebuah kabupaten, sebut saja namanya Budi, di pedalaman kalimantan menilai, terjadinya kekisruhan karena ketidakpiawaian pimpinan DPR dalam mengolah konflik. “Bahkan, dengan tidak menggubris penjelasan salah satu pihak yang bertikai, pimpinan DPR telah memperuncing perbedaan diantara kedua belah pihak,” ujarnya.

Apa yang dipertontonkan unsur pimpinan DPR yang digawangi Setya Novanto adalah model manajemen konflik yang mengutamakan kekuatan pengendali. Mereka berusaha mewujudkan tujuan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan orang atau kelompok lain karena hubungan dengan orang atau kelompok lain tidak termasuk dalam prioritas utama agendanya.

Pimpinan DPR yang berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP) ini menganggap bahwa konflik harus berakhir dimana satu pihak menang dan pihak lain kalah dan bahwa KMP akan memperoleh status yang tinggi dengan memenangkan konflik.

“KMP mencoba meraih kemenangan dengan menggunakan kekuatan berupa besaran jumlah anggota DPR KMP atas Koalisi Indonesia Hebat (KIH),” tambah Budi.

Penerapan manajemen konflik yang mengutamakan kekuatan pengendali yang demikian memperlihatkan ketidakpiawaian pimpinan DPR dalam mengelola konflik. “Seharusnya pimpinan DPR dalam memimpin lebih mengedepankan prinsip akomodasi dan kolaborasi,” kata seorang Ketua Organisasi Pemuda di daerah.

Dengan mengakomodasi berbagai pihak, pimpinan DPR tidak menganggap bahwa tujuan KMP di atas segalanya. Sebaliknya, dengan tidak melakukan akomodasi, pimpinan DPR menegaskan kecurigaan publik bahwa KMP menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Pimpinan DPR seharusnya menjunjung tinggi tidak hanya tujuan KMP, tetapi juga hubungan dengan KIH. Dengan demikian, pimpinan melihat konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dengan cara menyadari kebutuhan KIH. “Mereka harus pandai dalam melihat perspektif orang lain, sekaligus tidak melupakan tujuan sendiri,” tambahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline