Lihat ke Halaman Asli

Menurunkan Ritme

Diperbarui: 4 April 2022   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya bergegas menaiki motor supra tua. Menyusuri jalan Kota Babat yang agak padat sore itu. Waktu sore seperti ini adalah waktu yang sangat tepat untuk bersepeda keliling. Apalagi senja Babat duh sungguh indah katanya. Agenda sore begini biasanya ya sekedar beli lauk untuk makan malam teman-teman atau sekedar mencairkan suasana. 

Tapi sore itu keadaan saya agak suntuk. Dari siang hingga sore, menulis satu artikel untuk pondok benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Malam itu juga saya harus menyelesaikan satu tanggungan lain. Sore itu pula, saya baru ingat punya janji untuk mengirim titipan barang teman asal Jawa Barat di salah satu layanan kurir swasta.

Sial saya baru ingat itu pukul 16.30 sedangkan layanan kurir tersebut tutup pukul 17.00. Saya pun meluncur cepat, mengajak salah seorang teman. Sekalian makan lah.

Sialnya lagi, karena mengejar waktu  ban motor yang kami kemudikan bocor tepat di sebelah pendopo Jalan Gotong Royong. Duh apes. 

Saya pun terpaksa menuntun secara perlahan. Pedagang di sepanjang jalan Gotong Royong sudah berjejer rapi. Satu dua motor nampak menghiasi setiap depan gerobak pedagang kaki lima. 

Saya hanya bisa mendorong lemas motor saya. Saya sudah tidak peduli entah deadline ini selesai atau tidak, yang penting  motor ini bisa selesai dulu. Saya begitu kesal. Merutuki keadaan. Kok ya bisa-bisanya waktu mepet gini kok ya ada saja cobaannya. Berjalan menuntun sepeda di jalan yang ramai juga agak malu sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi.

Di sela-sela suasana perih itu teman saya berseloroh.

"Aku kok lagek sadar yo Gotong Royong apike ngene, onok omah seng model ngene, syuaahdu je"

Saya sebenarnya menganggap lalu saja perkataanya. Saya masih fokus berjalan sambil  mencari tambal ban. Tapi semakin saya biarkan, saya juga merasakan hal yang sama. Saya mulai memelankan motor yang saya tuntun. mengamati sekitar. Melihat keramaian orang berlalu lalang. Melihat  penjual martabak memulai aksi akrobatiknya, sedangkan sang pembeli yang semenjak awal berdiri di sampingnya tak lelah memusatkan pandangan kepadanya. 

Beberapa langkah kemudian, saya dapat melihat dengan jelas geliat penuh bingar mas-mas penjual cilok yang kewalahan meladeni pembeli yang berjibun. Beberapa sudut rumah yang selama ini luput dari perhatian saya hari itu terlihat. Beberapa punya koleksi bunga yang indah, beberapa tampak sepi tanpa ada aktivitas.hal-hal tersebut bisa saya lihat seolah-olah kami baru pertama kali lewat jalan Gotong Royong ini. Padahal ya bisa dikatakan hampir setiap hari kami melewati jalan di Babat ini.

Dari sini saya pun akhirnya bersepakat dengan teman saya tadi, bahwa beberapa hal memang sebenarnya mempunyai potensi untuk dinikmati. Kita saja yang terlalu naif, terlalu berpacu dengan keinginan-keinginan. Terlalu berpacu dengan kecepatan. Dengan dalih mencapai suatu tujuan sebagaimana orang banyak cita-citakan. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam perjalanan itu ada banyak hal yang patut untuk dinikmati dan direnungkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline