Tradisi kritik dalam bidang keilmuan telah membudaya sejak masa lampau. Banyak di antara para ulama yang melakukan kegiatan ini dengan cara mengkritik suatu karya ataupun pendapat dari ulama lainnya. Dalam hal ini, tak pelak Shahih al-Bukhari pun menjadi sasarannya. Sayangnya, pengetahuan akan sosok sang penulis dan perjalanannya sebagai muhaddisin dirasa masih minim.
Hal ini yang kemudian menjadi salah satu alasan almaghfurlah Prof. KH Ali Mustafa Ya'qub menuliskan sebuah buku yang berjudul "Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis" yang berisi tentang kajian terhadap sosok Imam Bukhari dan kritikan serta bantahan yang ditujukan pada Shahih al-Bukhari.
Imam Bukhari merupakan salah seorang ulama kelahiran Bukhara, Uzbekistan. Beliau dilahirkan pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H(810 M). Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim al-Ju'fi al-Bukhari. Kemasyhuran Imam Bukhari dalam dunia keilmuan Islam(khususnya diskursus hadis) tidak dapat dilepaskan dari peran penting sang Ayah.
Implementasi pepatah "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya" dapat kita lihat dari kisah keduanya. Saking cintanya terhadap ilmu, terutama hadis Nabawi, sang Ayah menyempatkan diri untuk menemui beberapa tokoh hadis terkemuka kala itu seperti Imam Malik bin Anas, Abdullah bin al-Mubarak, Abu Mu'awiyah bin Shalih, dan lain-lain saat beliau sedang menunaikan haji pada tahun 179 H. Bahkan sepeninggal beliau, ditinggalkannya sebuah perpustakaan pribadi untuk Muhammad kecil. Walhasil, sang Ibu yang menggantikan tugas ayahnya untuk mengasuh, mendidik, dan membesarkannya.
Di usianya yang belia, Muhammad terbilang sebagai anak jenius yang dapat mengalahkan kapasitas otak anak-anak seusianya. Pada usia 11 tahun, beliau mendatangi para ulama ahli hadis di tanah airnya karena perpustakaan ayahnya dirasa tidak lagi dapat memenuhi dahaganya akan ilmu hadis.
Rihlah 'ilmiyyah yang dilakukan Muhammad ke luar tanah kelahirannya dimulai pada tahun 216 H pasca melaksanakan ibadah haji dengan Ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Muhammad tinggal di Makkah dan berguru kepada muhaddisin yang berada di sana. Selanjutnya beliau melanjutkan pengembaraan 'ilmiyyah ke beberapa daerah seperti Madinah, Syam, Baghdad, Wasit, Bashrah, Kufah, Mesir, Harah, Naisapur, Qarasibah, 'Asqalan, Himsh, dan Khurasan.
"Kitab yang paling autentik sesudah Al-Qur'an adalah Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim" -Ibn Shalah(634 H)-
Semasa hidupnya, Imam Bukhari telah melahirkan banyak karya. Di antaranya ialah magnum opusnya yang berjudul al-Jami' al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi atau yang disingkat dengan al-Jami' al-Shahih yang lebih populer dengan nama Shahih al-Bukhari. Karya monumentalnya yang mendapat banyak sekali pujian bahkan dikatakan sebagai "Kitab yang paling sahih setelah Al-Qur'an" dan menjadi rujukan umat dalam kajian hadis ternyata tak lepas dari berbagai kritikan sejak zaman dulu hingga sekarang. Walaupun sebagian besar hadis dalam Shahih al-Bukhari dinilai sahih, terdapat sebagian kecil darinya yang dianggap dha'if oleh sejumlah ahli hadis masa lalu seperti Imam al-Daruquthni, Abu Ali al-Ghassani, dan lain-lain.
Menurut Imam Nawawi, kritik yang dilontarkan oleh mereka berangkat dari tuduhan bahwa Imam Bukhari tidak konsisten dalam menggunakan persyaratan yang telah beliau tetapkan sebelumnya. Sebab, hadis-hadis yang dirasa bermasalah ini tidaklah memenuhi persyaratan yang telah disusun oleh Imam Bukhari itu sendiri. Dalam penyusunan Shahih al-Bukhari, Imam Bukhari menetapkan beberapa persyaratan tambahan yang tidak ditetapkan oleh muhaddisin lainnya. Hal inilah yang kemudian membuat kitab ini bernilai tinggi, selain daripada keikhlasan penulisnya. Imam Nawawi menegaskan bahwasanya kritik yang dilontarkan oleh al-Daruquthni dan yang lainnya hanyalah berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh sejumlah ahli hadis yang justru dinilai lemah sekali karena bertentangan dengan pendapat jumhur ulama.
Dalam buku "Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis", KH. Ali Mustafa Ya'qub memberikan dua contoh kritik terhadap hadis dalam Shahih al-Bukhari di masa lalu, yaitu kritik dari segi sanad dan kritik dari aspek kepribadian sang perawi.