Lihat ke Halaman Asli

Dia Menawar Saya dengan DP 5 Juta

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Awalnya saya bingung untuk memberi judul coretan saya ini, mungkin buat Kompasioner terlalu bombastis atau hiperbolis, maksud saya tidak demikian dan harap maklum, saya baru belajar menulis dan ingin share di Rumah Sehat ini, jadi memberi judulnya ya masih amatir. Apa yang akan saya ungkapkan di sini adalah sekelumit pengalaman 5 tahun lalu. Dan mengenai temanya memang sudah tidak aktual lagi dibicarakan orang, karena memang ini catatan pribadi saya yang usang tapi selalu melekat kuat di ingatan saya. Sekitar tahun 2004/2005 sewaktu masih menuntut ilmu di kota yang dikenal luas sebagai kota Pelajar yang terdapat sekitar 120 Perguruan Tinggi (data tahun 2005), apalagi kalau bukan kota yang juga terkenal dengan Gudegnya itu, Yogyakarta. Kota yang nyaman dan ngangeni yang membuat setiap orang yang ke sana akan punya keinginan untuk ke sana lagi, itu yang sering dikatakan orang. Waktu itu saya masih sedikit awam tentang pergaulan, dan selalu membuat penasaran untuk menyelami kota ini. Singkat cerita saya kenal seorang teman, seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi. Dia menawari saya untuk menjadi Joki untuk ujian masuk kampus tempat saya belajar. Gubraggg, sebut saja dia "Mas A",,,,,,, yah tidak ada firasat apapun, karena tampangnya alim. menurutku Mas A ini cukup pintar untuk membujuk, hmmmm saya pikir hanya bercanda. Pintar mencari celah agar tujuannya bisa gol, dengan memberikan imbalan bujukan UANG. Sebagai mahasiswa yang koceknya alias uang sakunya pas2an seperti saya ini, siapa yang tidak tergiur dengan tawaran uang yang jumlahnya cukup membuat tergoda yang nominalnya bisa 15 juta dengan DP 5 juta dan didapatkan dalam waktu yang  lumayan singkat. Apalagi budaya hedonis mahasiswa perantauan dan anak kost juga turut ambil peran untuk "meracuni" pikiran saya. Di sisi lain sedikit pikiran sehat masih mangkal diotak,  mengingat masuk perguruan tinggi (negeri) juga bukan hal mudah, berebut kursi dengan saingan dari seantero negeri untuk sekedar mendapat status mahasiswa. Dan oleh sebab itu banyak disalahgunakan, dimanfaatkan oleh banyak kalangan dengan cara instan bahkan dikomersilkan. Kata orang "Apa sih yang tidak bisa dibeli di Indonesia? Keputusan saya tidak mau menerima tawaran Mas A itu, tapi saya iseng dengan mengatakan saya pelajari dulu, mas A menjelaskan panjang lebar, untuk yang ingin masuk di strata D3 si calon mahasiswa/oknum pengguna joki dibandrol mulai dari 35 juta sampai 50 juta tergantung prodi yang diambil, sedangkan untuk S1 lebih dari itu pastinya, dan bisa mencapai 100 juta!!!!! Saya mengorek informasi lanjut, Mas A ini tidak bekerja sendirian, dia hanya mencari joki atau calon mahasiswa yang ingin masuk PTN itu, jadi sebagai perantara. Dia mengatakan bahwa kalau saya mau terima tawaran dia, saya akan dikenalkan dengan Bos dari bisnis ini, yang katanya sedang cari modal usaha bidang penerbitan. Yang membuat saya kaget ada oknum dari internal kampus yang ikut mem-backup usaha ini. Bagi saya mungkin jaringan ini memang cukup rapi. Mas A menjelaskan kalau saya membutuhkan bimbingan belajar, tinggal bilang saja, segala fasilitas disediakan. Jika pada saat penentuan lokasi ujian mendapatkan tempat yang kebetulan menimbulkan resiko, misalnya saya di lokasi kampus saya sendiri, maka akan diganti/ditukar dengan joki lain. Akhirnya semua keisengan saya untuk tau lebih banyak mengenai bisnis ini tercium Mas A dan dia tau bahwa sebenarnya saya hnya ingin tau tapi tidak akan pernah mau terima tawaran dia sebelum saya sempat berkenalan dengan Bosnya. Hmmmm ini pengalaman yang luar biasa buat saya, saya 3 kali ditawari hal serupa. Citra pendidikan yang konon katanya jadi modal dan kunci kemajuan bangsa itu ternyata dinodai oleh sebagian kalangan yang katanya "peduli" dengan pendidikan. Semua alasannya adalah RUPIAH. Saya ingin mengatakan bahwa kampus yang saya maksud adalah UGM.  Jika saya boleh berkomentar, sebenarnya dimana letak kebanggaan orang tua itu??? Bangga dengan mengantarkan putra putri mereka menyandang status mahasiswa dengan RUPIAH yang mereka miliki (maaf, dengan menggadaikan moral mereka sendiri)??? Siapa yang mengajarinya? Jika kesempatan dan tanpa ada yang memulainya tentu tidak akan ada seperti ini bukan? Lalu siapa yang mengajari dan mulai kapan kesempatan seperti ini ada? Siapa yang harus disalahkan? Oknumkah? Pemerintahkah? Yang saya tau moral itu telah mereka tukar dengan lembaran RUPIAH!!!!! Saya yakin diantara kompasioner ada yang punya pengalaman seperti saya. Salam dari Ilalang Si suara akar rumput

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline