Jakarta – Ketika perekonomian global mulai bangkit dari efek pandemi Covid-19, maka dunia kemudian telah dikejutkan oleh serangan militer Rusia ke Ukraina.
Serangan Rusia jelas menimbulkan kecemasan, terutama karena negara itu memiliki produk minyak bumi, gas alam dan banyak komoditas lain, sehingga konflik pasti akan mengganggu perekonomian global.
Konflik Rusia-Ukraina hingga Sabtu (19/3/2022), atau memasuki hari ke-24 serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, bukan hanya menewaskan ribuan tentara dari kedua negara, namun juga banyak korban sipil tewas, termasuk wanita dan anak-anak, serta lebih dari tiga juta penduduk Ukraina mengungsi.
Karena Rusia memiliki sumderdaya alam besar serta menjadi salah satu negara penentu dalam rangkaian pasok migas dan komoditas, maka krisis itu kemudian telah berkembang menjadi goncangan terhadap rantai pasok migas dan komoditas dunia, termasuk Indonesia.
Tanda-tanda kecemasan Indonesia bisa dibaca dari pernyataan para pemimpin Indonesia yang mendesak Rusia segera menghentikan perang.
Presiden Joko Widodo, Ketua DPR Puan Maharani, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, bahkan Ketua Umum PB NU K.H. Yahya Cholil Staquf mengharapkan konflik segera berakhir.
Menurut Joko Widodo, peperangan hanya mengutamakan persoalan ego pemimpin yang melupakan sisi kemanusiaan. Ia menyayangkan pecahnya konflik, sehingga menimbulkan korban perang dan krisis kemanusiaan.
Tentu bukan hanya prihatin karena perang menimbulkan banyak korban jiwa dan krisis kemanusiaan, namun karena perang akan mengganggu dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional, dan secara otomatis mengganggu APBN serta upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebuah diskusi daring bertajuk “Mengantisipasi Ancaman Terhadap Ekonomi Nasional Di Balik Krisis Ukraina-Rusia” digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, tengah pekan ini, dan menyepakati bahwa konflik Rusia-Ukraina menuntut setiap negara, khususnya Indonesia, untuk menyiapkan strategi terbaik dalam menghadapi risiko terburuk.
Diskusi antara lain mendengarkan pendapat Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat, mantan Dubes RI untuk Polandia Peter F. Gontha; CEO S. ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC) untuk Asia Pasifik, Eropa, Timur Tengah & Amerika, Shaanti Shamdasani; peneliti INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini, Ph.D; dan Direktur Eksekutif Energy for Policy/Sekretaris Umum PP ISNU, Dr. M. Kholid Syeirazi.
Hitung Risiko Terburuk