Ini hanya catatan kenangan saat saya masih di SD di sebuah desa. Dari jarak tempuh antara rumah dan sekolah yang melewati pematang-pematang sawah dan menyeberangi sungai-sungai kecil. Saat itu alas kaki yang bernama sepatu tidak terlalu digemari anak-anak seusiaku. Selain sulit nyarinya, sepatu juga tidak menguntungkan untuk jalan di pedesaan yang kadang melewati lumpur.
Di sekolah yang jadwalnya tidak ada istilah on time, pelajaran baru akan dimulai jika para murid sudah pada datang. Jika belum lengkap, guru sangat sabar menanti teman-temanku yang masih sedang menuju sekolah.
Kepala sekolah bagi anak-anak sangat dihormati. Beliau bersepeda paling bagus di antara guru-guru yang lain. Sepeda beliau cukup mengkilap, ber-merk dan lengkap dengan lampu dan pengatur kecepatan. Jika menjelang masuk ke halaman sekolah beliau membunyikan bel-nya. Kring-kring... lalu cik-cik-cik bunyinya. Lalu anak-anak berlarian menyambutnya. Ada yang merebut membawakan tas kulitnya, lalu anak yang berbadan lebih besar menuntunkan sepeda itu pelan-pelan disandarkan di tepian sekolah. Semua anak bergembira menyalami beliau dan mencium tangannya. Juga menyambut kehadiran guru-guru yang lain dengan perlakuan yang sama.
Siswa sangat menghormati guru pada saat itu. Tak ada sedikitpun keberanian untuk menentang perintah dan petuah guru. Kehidupan guru saat itu tentu belum seperti sekarang, baik secara ekonomi maupun wawasan keilmuannya. Buku bacaan mereka tentu belum sebanyak sekarang. Tapi kami, anak-anak sangat hormat dan sayang kepada mereka. Agak berlebihan jika menghormati guru dianggap sebagai suasana feodalistik. Pada masa itu budi pekerti adalah bagian dari kehidupan anak-anak seusia SD. Tapi semua itu sekarang tinggallah sebagai masa lampau. Lihatlah sekarang betapa hebatnya apa yang disebut demokratis telah mengubah gaya para siswa SD terhadap guru-gurunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H