Beberapa hari yang lalu, seorang teman mencuit di twitter. Ia bilang tetangganya kehilangan nasi yang baru saja di masak. Nasi ditempatkan di dalam baskom dan diletakkan di meja makan. Ia lalu ke dapur untuk memasak makanan lain. Pas balik ke ruang makan, nasi dan baskomnya hilang. Cuma itu yang hilang, benda-benda lain masih aman di tempatnya.
Saya nyamber cuitan sang teman, bertanya lebih detail tentang kejadian itu. Si teman bilang, pencuri nasi tak diketahui karena kondisi rumah sepi, pintu terbuka karena si empunya nasi bolak balik di dalam rumah. Sejauh ini aman tak pernah kecolongan, kecuali sebaskom nasi siang itu.
Si empunya nasi merelakan nasinya dicuri. Pasti si pencuri nasi sangat kepepet sehingga nasi saja dicuri dan bukan barang lainnya. Kalaupun ada yang empunya nasi sesali adalah baskomnya. Baskom blirik hijau itu adalah baskom kesukaannya. Semoga saja nasinya bermanfaat buat si pencuri, kalo bisa sih baskomnya dibalikin aja, kata si empunya nasi sembari bercanda.
Saya menghela nafas. Masa pandemi Covid-19 memang membuat banyak orang jadi susah. Susah dalam melakukan pekerjaan, urusan hingga susah cari uang. Banyak yang kena PHK karena perusahaannya tak mampu bertahan di kondisi pandemi. Karyawan yang perusahaannya masih bertahan pun harus merelakan gajinya diterima dengan jumlah tak utuh.
Tetangga saya termasuk yang gajinya kena potong. Potongannya nggak tanggung-tanggung, 50% bayangin. Sedangkan jika gaji diterima penuh saja hidupnya pas-pasan, gimana kena potong setengah. Tambah pusing ia karena motor belum lunas dan tiap bulan cicilannya harus dibayar. Sulit sungguh.
Kisah mengenaskan lainnya dialami oleh satu tetangga saya juga, seorang bapak. Ia driver ojek online. PSBB membuat orderan yang sudah sepi gara-gara pandemi jadi tambah sepi lagi. Satu hari ia dapat orderan buat antar makanan. Pemesan yang baik hati memberinya tip cash 20 ribu. Terbayang di matanya, uang itu bisa buat beli sayuran. Ndilalah di perjalanan ban motornya kempes dan harus ditambal. Uang 20 ribu, satu-satunya uang di dompet dari orderan pertama dan terakhir hari itu, berpindah ke tukang tambal ban. Duh.
Saya menyambut bulan Ramadan dengan rasa yang berbeda kali ini. Bukan karena ibadahnya full di rumah tapi karena rasa prihatin yang sangat. Sungguh saya bersyukur saat ini masih mendapat rezeki dari Allah SWT. Tidak kurang tidak lebih, cukup saja. Sehari sebelum Ramadan, saya berdiskusi dengan anak-anak saya, mengenai bagaimana kami menjalani Ramadan dan Lebaran.
Dua anak saya sudah bekerja, Alhamdulillah. Si sulung bulan ini lapor bahwa gajinya jauh berkurang karena ia tak mendapat ongkos transport. Ya memang transport tak dihitung karena sebulan ini ia bekerja dari rumah. Saya katakan padanya, bersyukur saja masih menerima gaji. Gunakan dengan sebaiknya untuk kebutuhannya sendiri.
Untungnya tanpa perlu banyak cakap, anak-anak saya memutuskan sendiri bahwa Ramadan ini masaknya sederhana saja, seperti masak sehari-hari. Yang istimewa hanya waktu makannya yang berubah. Untuk Lebaran, tak ada baju baru, pakai saja baju lama yang masih bagus dan bersih. Tak usah beli kue Lebaran. Kurangi jajan. Bikin sendiri saja semampunya.
Sungguh saya bersyukur dengan pengertian anak-anak saya, siapa dulu dong emaknya. Keikhlasan mereka menghilangkan rasa bersalah saya karena tak bisa memberikan yang serba wah di saat Ramadan dan Lebaran. Saya pun bersyukur di masa sulit ini, saya dan anak-anak saya tak kesulitan untuk makan. Tak sampai berfikir untuk mencuri nasi atau sayur tetangga.
Sejujurnya, in the bottom of my heart saya khawatir dengan kondisi sekarang ini. Cerita-cerita mengenaskan karena efek ekonomi dari pandemi yang kerap beredar membuat saya takut juga. Tak tau kapan pandemi berakhir, tak tahu kapan kehidupan akan normal lagi dan di depan itu semua, bahaya Covid-19 terpampang nyata di depan mata.