“Children do not care how much you know until they know how much you care” -Teddy Roosevelt
Usia gadis kecil itu mungkin belum lagi 10 tahun. Ia menaruh tumpukan kayu yang tadinya dia sunggi di atas kepalanya lalu berlari ke arah teman-temannya, menyelip di antara mereka lalu berpose di depan kamera. Klik... klik! Kamera kami beberapa kali mengabadikan keceriaan mereka. Seorang teman kami jahil meminta anak-anak ini berteriak.. Hidup Larantuka! Dan anak-anak ini mengiyakan... Hidup Larantuka! Mereka tertawa sesudahnya.. ceria.
Saya sedang bersama teman-teman yang blusukan ke pelosok Larantuka dalam rangka melihat lebih jauh potensi Larantuka dalam hal pariwisata. Tanggal 19 Mei 2016 sepulangnya kami dari Danau Asmara, kami bertemu dengan anak-anak ini. Anak-anak ini tinggal di Desa Tanjung Lebau yang belum terjamah oleh listrik dan susah air bersih. Listrik dan air... dua hal yang teramat penting bagi persendian hidup masyarakat ini masih menjadi hal yang sangat sulit di dapat. Desa ini jauh dari pusat kota, sekitar 35 kilometer jaraknya.
Jalan menuju desa ini berbatu dengan sisi kanan dan kiri pepohonan lebat. Motor bisa dihitung dengan jari, apalagi mobil. Alat transportasi di desa ini adalah kaki. Untuk menuju sumber air bersih, warga desa harus berjalan berkilo-kilo meter. Dengan keterbatasan transportasi, warga cuma bisa membawa 1-2 dirigen air ke rumahnya. Apa yang bisa dilakukan dengan air bersih sebanyak itu? Paling hanya untuk masak, minum dan membasuh muka. Saat kemarau panjang sumber air bersih pun menghilang.
Warga desa ini hidup dari berkebun. Kebunnya juga jauh di atas bukit. Ketela dan jagung merupakan tanaman yang mereka tanam untuk dijual. Rumah-rumah yang mereka tempati sangat sederhana, lebih tepat disebut gubuk daripada rumah. Lantainya tanah dan dindingnya kayu, jendelanya cuma satu paling banyak dua. Maka bisa dibayangkan bagaimana keadaan di dalamnya. Pasti pengap dan gelap. Tak ada sinyal handphone di desa ini. Jadi buat Anda yang sangat tergantung pada handphone cobalah tinggal di desa ini, Anda tak akan diganggu oleh dering telepon.
Anak-anak kecil yang mestinya menikmati dunianya dengan bermain dan belajar dengan segala fasilitas penunjang, harus menjalani hidup dengan keraskarena keadaan. Mungkin saya terlalu sensi dan lebay melihat kehidupan mereka. Toh mereka baik-baik aja dengan keadaan seperti itu. Tapi jujur saya hampir menangis saat gadis kecil tadi kembali ke tumpukan kayunya, berusaha mengangkat dan menyungginya di atas kepala. Tangannya gemetar menahan kayu di atas kepalanya, saya tanya.. “Adek bisa bawanya? Itu berat banget lho” dan dia menjawabnya dengan senyum yang membuat saya tercekat.. “Nggak tante... sudah biasa tante”.
Hari sebelumnya saya merasakan meriahnya sebuah pesta. Pesta pembukaan hajatan kelas Internasional, Tour De Flores. Layaknya event Internasional, hajatan ini diikuti oleh atlit balap sepeda dari mancanegara. Belanda, Korea, New Zealand, Rusia... adalah beberapa negara yang ikut serta dalam ajang ini. Salah satu maksud digelarnya event ini adalah agar pariwisata Flores dikenal di penjuru dunia dan menjadi maju karenanya. Biar masyarakat Internasional melihat bahwa Indonesia punya banyak tempat yang indah dan banyak yang belum terjamah. Flores salah satunya.
Keindahan Flores terlihat dari jendela pesawat saat saya tiba. Pulau-pulau tersebar dengan laut mengelilinginya. Bersyukurlah Tuhan begitu baik hati pada Indonesia hingga memberikan kita pulau-pulau yang bak intan permata tersebar di lautan luas. Inginnya saya menyambangi semua daerah di Flores tapi untuk saat ini biarlah saya menyambangi Larantuka dan Kupang saja. Keindahan yang terlihat belum tentu indah juga di dalamnya.
Seorang teman yang sering wara-wiri ke Flores dan secara kebetulan bertemu dengan saya di Kupang bilang.. Flores itu level 5 dalam tingkatan daerah di Indonesia. Kasarnya daerah ini masih minim pendapatannya. Hanya sedikit yang bisa dijual dari daerah ini. Prospek untuk pariwisata ada, tapi belum diolah dengan baik oleh pemerintah setempat. Paling-paling kita cuma tau Labuan Bajo.. begitu katanya. Ia berpesan jika saya ingin melihat seperti apa Flores sebenarnya, blusukan lah sampai ke pelosok. Pesan si teman akhirnya bisa saya penuhi.
Hingar bingar pesta Tour De Flores tidak sampai ke tempat anak-anak pencari kayu tadi tinggal. Mereka tetap pada pekerjaannya mencari kayu dan mencari air. Paling-paling mereka heran tiba-tiba ada serombongan orang kota dengan mobil bagus datang ke desa mereka. Mungkin efek kesal dan berusaha mencari perhatian pada kami yang dikira rombongan pejabat, dalam perjalanan pulang kami terpaksa berhenti sejenak untuk menyingkirkan batu yang di tebar orang-orang yang jahil di jalan.
Listrik dan air memang cukup sulit di Larantuka. Bapak supir yang mengantar kami kemana-mana bilang, listrik sehari hidup dan sehari mati. Beberapa hari ini listrik nyala tiap hari karena ada pembukaan TourDe Flores. Setelah pesta Tour De Flores usai ya listrik mati hidup lagi. Warga mengandalkan air bersih dari PAM tapi tidak setiap hari mengalir airnya karena pengurusnya beralasan debit air sangat sedikit, alasan ini dipakai bahkan di musim hujan. Sulitnya air membuat beberapa orang mendirikan bisnis penjualan air. Satu galon besar air bersih dijual tiga ratus ribu rupiah. Sungguh ironis ya.. dikelilingi air berlimpah tapi hidup kekurangan air.