Tangan tua mama Margaretha tangkas memaju mundurkan bilah kayu, bagian dari sebuah alat penenun tradisional. Selembar kain tenun setengah jadi ada di pangkuan mama Margaretha. Sambil meneruskan pekerjaannya, mama Margaretha menjawab pertanyaan kami, rombongan yang datang ke rumahnya untuk melihat proses pembuatan kain tenun.
Rumah mama Margaretha sederhana, diapit oleh tetangga di kanan kirinya. Desa tempat Mama Margaretha tinggal ada di pusat kota Larantuka, tepatnyadi kelurahan Way Balun, jadi jalan menuju ke desa ini bagus beraspal dan rumah-rumah di desa ini layaknya rumah-rumah di kota yang padat penduduknya. Kami mendatangani desa tenun tempat mama Margaretha tinggal di hari ketiga kedatangan kami di Larantuka, Jumat 20 Mei 2016.
Mama Margaretha adalah salah satu dari sekian banyak wanita yang setia menekuni pekerjaannya sebagai penenun kain Flores. Mama Margaretha menenun sejak tahun 1986. Orang tua mama Margaretha menurunkan keahlian menenun kepadanya dan ia pakai sampai kini. Karena kepandaiannya menenun kain Flores, Mama Margaretha sering diajak mengikuti pameran barang-barang khas Indonesia yang beberapa diantaranya diadakan di Jakarta.
Berkat ilmu yang diturunkan kepadanya, Mama Margaretha wara-wiri ke kota-kota besar dan bertemu dengan banyak sekali orang yang tertarik dengan kain tenun hasil karyanya. Orang-orang ini menjadi pelanggan tetap Mama Margaretha sampai sekarang.
Proses pembuatan kain tenun ini memakan waktu yang tidak sebentar. Untaian benang dicelup dengan pewarna lalu dikeringkan. Pewarna untuk benangini ada yang dari pewarna kimia dan pewarna alam. Kain yang terbuat dari pewarna alam harganya lebih mahal dari kain yang menggunakan pewarna buatan karena proses pembuatannya lebih lama dari kain dengan pewarna kimia. Setelah melalui proses pengeringan, benang ini baru bisa ditenun menjadi selembar kain. Lama penenunan berbeda-beda tergantung panjang kain. Mama Margaretha biasa menenun selembar kain dalam waktu 1-3 minggu.
Motif-motif dalam kain tenun Flores itu punya makna. Motif belah ketupat misalnya, motif ini menggambarkan persatuan antara pemerintah dan rakyat. Kemudian garis segitiga yang naik turun menggambarkan gunung yang mengapit pulau Flores. Untuk motif lain punya makna yang lain lagi. Jadi seperti halnya batik bagi orang Jawa, kain tenun Flores juga ada artinya. Motif dibedakan antara kain untuk wanita dan kain untuk laki-laki. Motif untuk kain laki-laki lebih sederhana dibandingkan dengan kain untuk wanita.
Untuk penenun seperti Mama Margaretha sebenarnya tidak susah menjual hasil karyanya. Pemerintah daerah membuat perkumpulan penenun, di mana para penenun bisa mengumpulkan kain tenunnya di perkumpulan ini lalu pemerintah daerah akan membawa kain tenunnya ke galery atau acara-acara pameran.
Namun.. cara seperti ini tidak efisien menurut mama Margaretha. Mama Margaretha ingin kainnya dibayar langsung oleh pemerintah sehingga mama Margaretha langsung mendapat uang dari jerih payahnya. Mengenai berapa pemerintah daerah menjual kainnya mama Margaretha tak peduli. Yang penting uang hasil penjualan kain bisa ia pakai segera.
Kalau cara yang berlaku sekarang, Pemerintah daerah membawa kain ke acara-acara pameran dan menjualnya. Kalau laku, baru hasil penjualan itu diberikan kepada penenun kain. Kain yang tidak laku kadang dikembalikan ke penenun namun kadang di bawa lagi untuk ikut ke acara pameran selanjutnya. Jadi para penenun lama dapat hasilnya.
Menurut saya, cara ini memang tidak praktis dan cenderung merugikan si penenun. Padahal.. kita tau lah... pemerintah pasti menjual kain tenun itu dengan harga jauhhhh lebih mahal dari harga aslinya. Saya berharap ke depannya pemerintah daerah lebih memilih cara praktis sesuai keinginan mama Margaretha dan teman-temannya.
Memangnya berapa harga selembar kain tenun yang dibuat oleh mama Margaretha dan teman-temannya? Untuk seukuran kain lebar, harganya adalah limaratus ribu rupiah, harga ini untuk kain dengan pewarna kimia. Jika kain menggunakan pewarna alam, harganya adalah satu juta rupiah.