Lihat ke Halaman Asli

Ya Yat

TERVERIFIKASI

Blogger

Blusukan ke Danau Asmara, Inilah Kehidupan Flores yang Sebenarnya

Diperbarui: 24 Mei 2016   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sunyi (dok.yayat)

Matahari telah meninggi saat saya dan teman-teman dari Humas Maritim serta beberapa jurnalis berangkat dari penginapan kami di Larantuka, menuju danau tersembunyi yang katanya indah di pelosok Larantuka. Hari itu Kamis, 19 Mei 2016, hari kedua saya di Larantuka dalam rangka melihat pembukaan Tour De Flores, sekaligus melihat suasana Larantuka yang merupakan bagian dari Flores Timur, daerah yang tidak pernah terpikirkan akan saya kunjungi. Bapak supir bilang bahwa lokasi danau ini sekitar 35 km dari Larantuka atau sekitar 2 jam perjalanan karena jalan yang tidak selalu mulus. Sungguh jarang tempat wisata di Larantuka, jika hanya ingin menikmati suasana laut, Anda tinggal minggir ke pinggir jalan aja, tapi masa cuma liat laut aja kita.

Sebenarnya kami punya rencana menyambangi Kalimutu. Kalimutu berjarak 3 jam perjalanan dari larantuka. Tapi apa daya pak supir minta biaya antar yang sangat mahal, 3 juta rupiah untuk rute pulang pergi dan itu harga untuk satu mobil. Sementara kami pakai 3 mobil dan besoknya kami harus terbang ke Kupang dari Larantuka jadi kami cuma menginap semalam di Kalimutu. Mengingat perjalanan ke Kalimutu jauh dan akan menghabiskan waktu apalagi biaya mobilnya juga mahal maka kami memutuskan untuk explore daerah Larantuka saja. Danau Asmara adalah hidden paradise katanya, maka ide untuk mengunjungi danau ini kami setujui. 

Danau asmara (dok.yayat)

Pergi ke daerah pedalaman di kota yang tidak pernah saya datangi membuat saya penasaran dengan kondisi yang akan saya hadapi. Danau yang akan saya datangi dikenal sebagai Danau Asmara, aslinya bernama Danau Way Belen. Terletak di kecamatan Tanjung Lebau. Disebut danau asmara karena konon kabarnya dahulu kala ada dua sejoli yang bunuh diri di danau ini karena kisah cintanya tidak direstui kedua orang tuanya. Semacam kisah Romeo dan Juliet versi lokal. Danau ini masih jarang dikunjungi orang, hanya orang lokal saja yang tau keberadaan danau ini karena lokasinya yang tersembunyi.

Awalnya jalan yang kami lalui masih beraspal mulus. Namun setelah memasuki jalan yang kiri kanannya rimbun dengan pepohonan saya mulai deg-degan. Siang yang panas terik tak terasa karena lebatnya pepohonan. Jalan yang kami lalui terhitung sempit, pas pas an buat dua mobil bila posisinya berjejer. Makanya saya sempat menjerit pelan saat berpapasan dengan mobil pick up yang melaju cepat dan tidak juga melambat, untung sopir kami sudah reflek mengarahkan mobil ke pinggir. Kalo dia kurang tangkas entah apa yang terjadi. Sungguh horor awal perjalanan ini. 

Menembus hutan (dok.yayat)

Listrik belum masuk ke pedalaman, jadi bayangkan jika malam tiba sementara pepohonan begitu lebat. Berdoa saja kendaraan Anda nggak mengalami masalah hingga harus mogok di jalan. Rumah-rumah terbilang jauh jaraknya. Kalaupun ada, kondisinya tertutup dan tak ada penghuni yang terlihat dari luar. Orang yang lalu lalang selama perjalanan bisa dihitung dengan jari. Di sepanjang perjalanan, pak Supir bilang bahwa kami jangan terpesona oleh rimbunnya pepohonan. Air di sini susah didapat, warga harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air bersih. Listrik? Itu cuma mimpi.. sungguh ironis.

Medan berat mulai kami temui saat tanah beraspal hilang, berganti tanah berbatu. Ada sekelompok pekerja sedang melakukan pelebaran jalan. Entah kapan selesai melihat medannya berat begini. Salah satu mobil rombongan kami yang bertipe sedan harus extra hati-hati melahap tanah kubangan. Jalanan ini cuma cocok dilalui dengan mobil yang siap untuk off road. Di sebuah tanjakan ada satu alat berat yang sedang melebarkan jalan. Saya pikir alat berat ini sekedar membersihkan jalan dari longsoran dan bukan membuat jalan ini jadi beraspal.

jalan terjal berliku (dok.yayat)

Rumah di pedalaman ini sangat apa adanya, mencerminkan penghuninya yang hidup sangat sederhana. Menurut bapak sekretaris desa yang sempat kami temui, sebagian besar pekerjaan penduduknya adalah berkebun. Ketela dan jagung adalah tanaman yang mereka tanam dan mereka jual saat panen. Lokasi mereka bercocok tanam jauh di atas bukit, jadi mereka harus jalan kaki. Alat transportasi utama di sini memang kaki karena jangankan untuk membeli motor, untuk makan pun susah. Oh ya.. sinyal telephone tidak sampai ke desa ini, jadi sinyal benar-benar hilang. 

Jalan berbatuan sungguh butuh ketangkasan menyetir. Seorang Valentino Rossi saja bisa jatuh terpelanting di sini, eehhh saya sama sekali nggak mengharap ini tejadi, kalau Rossi menyambangi Flores saya akan ajak dia menikmati matahari tenggelam di pantai Larantuka, lebih romantis rasanya.. Hlaaa kok saya malah ngimpi. Saya dan rombongan berangkat tanpa makan siang, ini sungguh cara yang salah karena di sepanjang perjalanan tidak ada satupun warung makan yang ada.

Menjelang gelap (dok.yayat)

Setelah perjalanan panjang akhirnya mobil kami berhenti di dekat lokasi danau. Danau belum terlihat karena dari tempat ini kami harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Jalannya menurun tajam dan menembus hutan. Sebagian jalanan dilapis semen sebagian lain tanah bebatuan. Kata pak Sekdes semen ini ada saat tahun 2010 pemerintah daerah mau membuka jalan agar orang bisa lebih murah mencapai Danau Asmara. Tapi pekerjaan itu berhenti sebelum selesai.

Jalan menurun terjal ini pasti licin saat hujan, jadi jangan coba-coba kesini bila hujan. Di suasana panas aja jalan licin karena tumbuh lumut di atasnya, saya sempat terpeleset tapi untung nggak sampai jatuh terguling ke bawah. Kemiringan ada yang mencapai 45 derajat, di kanan kiri penuh dengan tumbuhan. Bebatuan yang tersebar di situ sempat menyita perhatian saya, karena batunya seperti batu karang yang ada di dalam laut. Sepertinya jaman dahulu kala dataran ini adalah dasar laut. 

Ada yang usil (dok.yayat)

Kira-kita 20 menit kemudian kami sampai ke pinggir danau. Danau ini sungguh sunyi, saya tidak bisa terlalu mendekati pinggiran danau karena takut terjerumus ke danau. Danau Way Belen begitu tenang dan asri. Air danau begitu tenang dan pepohonan hijau yang mengelilinginya begitu lebat. Saya mengira-ngira binatang apa saja yang ada di hutan ini, pasti banyak binatang buas juga. Jangan membandingkan danau ini dengan danau yang sudah terkena sentuhan tangan manusia karena akan berbeda, danau ini masih asli, jadi belum dipercantik oleh tangan manusia. Waktu seakan berhenti di Danau Way Belen. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline