Lihat ke Halaman Asli

Aksi Cepat Tanggap

Organisasi Kemanusiaan

Membaca Kembali Eksistensi Sebuah Lembaga Kemanusiaan: Catatan Awal Tahun 2016*

Diperbarui: 4 Januari 2016   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ANGGAPAN bahwa lembaga semacam ACT bisa hidup dari tingginya frekuensi terjadinya bencana, adalah berasal dari fakta obyektif. Secara finansial, lembaga dihidupkan oleh antusiasme publik, perusahaan, komunitas, dan lain-lain dalam berdonasi.  ACT, dengan main brand-nya sebagai lembaga kemanusiaan, menempati posisi terdepan, dalam memperoleh amanat-amanat kemanusiaan bagi korban-korban bencana, yang berarti sokongan donasi yang diperoleh cukup besar dan semakin membesar dari tahun ke tahun.   Sejumlah karakteristik bencana menentukan besar kecilnya donasi. Makin besar korban jiwa yang meninggal misalnya, makin besar kucuran donasi yang masuk. Di akhir tahun 2014, sampai awal 2015, misalnya bencana longsor di Desa Jemblung, Kecamatan Karang Kobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang menelan korban jiwa mendekati 100 jiwa, cukup menyedot perhatian publik. Bahkan media internasional pun ada yang meliriknya.  Longsor adalah bencana yang sering terjadi di Indonesia ketika musim penghujan tiba. Namun, dengan korban manusia meninggal satu dua orang, atau belasan orang, menjadi semacam bencana biasa. Kerap diberitakan media, namun tak menyulut solidaritas yang masif seperti yang terjadi di Dusun Jemblung. ACT saat itu, menjadi salah satu pihak yang berperan cukup penting dalam menggulirkan aksi-aksi kemanusiaan untuk korban longsor Dusun Jemblung. Terbukti, monumen sosial cukup fenomenal berhasil dibangun, yakni Integrated Community Shelter (ICS), sebuah hunian sementara dengan 36 pintu, yang menampung 40-an keluarga yang selamat dari bencana longsor. Berhasilnya ACT menjejakkan monumen kemanusiaan itu, sudah tentu karena besarnya amanat (kepercayaan) publik yang diberikan kepada ACT. Kegesitan ACT menerima amanat dan menyalurkan secara cepat, tak ayal menuai decak kagum, sekaligus, terkadang, sikap cemburu. Sikap cemburu pihak lain, mendorong ACT mengambil pelajaran: ketanggapan dan kecepatan harus pula diimbangi sikap arif dan bijaksana.  Lalu setelah itu, di Bulan Mei, ribuan orang-orang Rohingya dari Burma yang bergejolak, dengan perahu kayu, mendarat di Aceh. Kali ini, tak hanya mata publik nasional yang beramai-ramai melihat apa yang terjadi dengan etnis paling teraniaya di dunia, tetapi juga menarik perhatian publik internasional. Semua orang, setidaknya sebagian besar, khususnya kaum muslimin, yang mengetahui derita orang Rohingya (yang notabene  muslim), tergerak ingin berbuat sesuatu untuk mengurangi derita muslim Rohingya. Kembali, dengan upaya komunikasi yang efektif, ACT memanggil masyarakat yang peduli terhadap etnis Rohingya, untuk menolong. Selama lebih dari tiga bulan pertama, ACT berjibaku memberikan yang terbaik untuk membantu etnis Rohingya dengan amanat dana bernilai miliaran rupiah, baik yang berasal dari masyarakat Indonesia maupun dunia. Hunian sementara (ICS) juga berhasil dibangun di Aceh Utara, yang mampu menampung ratusan pengungsi Rohingya. Hingga kini, ACT masih terus bekerja menuntaskan persoalan kemanusiaan yang menimpa muslim Rohingya, yang berstatus stateless (manusia tanpa status kewarganegaraan) akibat kebijakan rezim Myanmar yang zalim.  Tahun 2015 diwarnai musim kemarau yang berkepanjangan. Kekeringan pun melanda sejumlah wilayah Indonesia. ACT beraksi dengan penyaluran sedekah air dari publik, yang diwujudkan dalam bentuk aksi emerjensi bantuan air bersih bagi masyarakat Indonesia di sejumlah daerah yang kesulitan mendapatkan air bersih. Selain itu, ACT dengan Global Wakaf yang digulirkannya mengeluarkan program Wakaf Sumur. Sebuah program yang diinisiasi untuk mencari solusi permanen bagi wilayah-wilayah yang rawan kekeringan saat muslim kemarau.  Di tengah kesibukan menangani Rohingya dan masyarakat korban bencana kekeringan, kabut asap tiba-tiba membubung di langit Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Palangkaraya serta Pontianak. Bencana kabut asap yang sedemikian luasnya membekap puluhan juta warga di wilayah-wilayah tersebut. Beruntung korban jiwa tak banyak berjatuhan, namun ratusan ribu, bahkan jutaan orang yang terkepung asap berbulan-bulan, terganggu kesehatannya cukup parah.  Bencana asap yang terjadi di sepertiga akhir tahun 2015 ini, juga mengundang solidaritas publik untuk korban asap yang luar biasa. Bantuan seperti mengantri untuk disalurkan. Bahkan hingga musim penghujan tiba, dimana ribuan titik api yang membakar hutan dan memproduksi asap super masif, di bulan November, perlahan padam, bantuan-bantuan itu masih harus ACT salurkan. Bantuan untuk korban asap yang terus bergulir, walau asapnya sendiri telah lenyap oleh hujan, menjadi kabar gembira, bahwa publik mengerti awareness yang disampaikan ACT, bahwa korban-korban asap membutuhkan bantuan yang bersifat pemulihan, khususnya terkait kesehatan masyarakat yang memburuk akibat dikepung asap di rumah mereka, selama berbulan-bulan.  Itulah sebagian bencana besar yang terjadi di tahun 2015. Sementara bersibuk dengan bencana-bencana “besar” tersebut, ACT juga tetap menurunkan tim-tim darurat serta tim mobile-nya untuk membantu korban-korban bencana berskala “kecil” (dengan korban meninggal sedikit atau nol). Korban kebakaran, banjir, gempa, membantu pengobatan warga miskin yang sakit, membangun jembatan rusak, membangun sekolah untuk warga Indonesia yang tinggal di pinggir-pinggir perbatasan negeri, yang kami kemas dalam Program 100 Tepian Negeri. Dan tak lupa, ACT juga ikut terus merawat ribuan pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung di Tana Karo, Sumatera Utara, hingga detik ini. Program terbaru yang sedang dilakukan adalah membangun sumur bor, hasil dari patungan wakaf sumur masyarakat yang peduli dengan nasib para pengungsi Sinabung yang hingga kini belum jelas nasibnya harus bagaimana.  Perkembangan ACT sebagai sebuah lembaga hingga sebesar sekarang meniscayakan bahwa masyarakat telah mengerti bagaimana visi dan misi lembaga dirumuskan, serta mengikuti dari waktu ke waktu hingga bagaimana kepercayaan tinggi diberikan masyarakat kepada ACT. Banyak sekali lembaga-lembaga tumbuh kembang menjadi besar dari donasi masyarakat yang begitu masif.  Perjalanan sepuluh tahun, dan 2016 ini menapaki tahun pertama dekade kedua adalah sebuah cerminan kinerja lembaga yang on the track. Lembaga ini tidak akan berhenti menyampaikan ajakan kepada orang-orang yang peduli dan memiliki sesuatu yang bisa diberikan untuk membantu orang atau sejumlah orang yang membutuhkan. Orang yang miliki kepedulian tinggi tapi tak punya waktu untuk memberikan yang dia miliki (uang, barang), adalah pihak yang memerlukan lembaga semacam ACT. Orang seperti itu berjumlah jutaan, dan jumlah itu makin bertambah, seiring kampanye penyadaran akan kepedulian terhadap sesama dari berbagai pihak seperti para pengkhutbah, motivator, dan juga lembaga penerima amanah kepedulian itu sendiri. Dalam ilmu perdagangan, pedagang sukses adalah pedagang yang memiliki kejujuran yang tinggi. Pedagang curang dijamin bangkrut, karena tak lagi miliki trust (kepercayaan). Pedagang juga dituntut transparan. Pedagang yang dengan sukarela menjelaskan sisi kelebihan dan sisi kekurangan dari barang atau jasa yang dijualnya alias transparan, sudah pasti cepat memperoleh kepercayaan. Transaksi perdagangan masif pun terjadi, dan profit melimpah pun didapati.  Lembaga kemanusiaan tak berbeda dengan perusahaan dagang (bisnis). Basisnya adalah trust. Semakin tinggi kepercayaan yang dimiliki sebuah lembaga sosial kemanusiaan, semakin besar donasi (dalam bentuk dana dan barang) mengalir kepadanya. Kepercayaan yang makin tinggi, melahirkan amanat besar. Amanat besar menuntut kapasitas besar (hebat). Kapasitas yang makin besar (hebat) melahirkan kepercayaan yang makin besar. Terjadilah proses siklikal, sebab dan akibat yang saling berganti. Ruh dari seluruh proses kerja kemanusiaan sesungguhnya adalah keikhlasan. Baik dari pihak pendonor, lembaga kemanusiaan, serta para benefisirias (penerima manfaat). Kok benefisiaris juga harus ikhlas? Ya, sebab bantuan yang diberikan tanpa keikhlasan, bisa menular kepada di penerima bantuan, sehingga ikut tidak ikhlas, yang bisa berujung pada penolakan, dan pada gilirannya penurunan kredibilitas lembaga kemanusiaan. Tujuan dari misi kemanusiaan pun gagal. Salah satu contoh ketidakikhlasan itu adalah mencampuradukkan antara bantuan dengan ajakan untuk mengimani suatu kepercayaan tertentu yang berbeda dengan di penerima bantuan. Bantuan yang tidak murni ini, menurut seorang blogger dan penulis tema-tema kebencanaan dan kemanusiaan Dewanto Edi, kerap melukai hati, alias merusak keikhlasan penerima bantuan. Bantuan masif dalam peristiwa bencana Tsunami tahun 2004, menjadi contoh adanya bantuan-bantuan yang tidak dilandasi murni kemanusiaan namun diiringi tawaran konversi iman dari lembaga-lembaga tertentu kepada para benefisiaris. ACT, kendati mengambil nilai-nilai universal keislaman dalam menjalankan misinya, niscaya bisa diterima oleh siapapun. Rumusan rahmatan lil alamin, yang dinukil dari Kitab Suci Al-Quran, menyerap dan memiliki kebenaran universal yang ditemukan dan niscaya disepakati manusia dari berbagai latar belakang keimanan.   Bencana adalah sesuatu yang diciptakan Tuhan, kendati munculnya seringkali disebabkan ulah buruk manusia. Dari perspektif tujuan diciptakannya bencana, lebih cocok disebut sebagai wilayah dimana sesama manusia bertemu saling berbagi. Melalui bencana-lah, antara penderma, penyalur derma dan penerima derma bertemu dan menjalin kasih sayang. Disanalah transaksi terjadi. Lembaga kemanusiaan menawarkan atau “menjual” kepercayaan (yang didalamnya ada unsur profesionalitas dan portofolio), yang berwujud program-program, lalu masyarakat membelinya dengan kepedulian, yang diwujudkan secara fisik dalam bentuk donasi. Donasi belum berguna selama ia belum disalurkan, atau diterima benefisiaris. Jika sudah diterima yang berhak (korban bencana, dll), benefit pun diperoleh. Di dalam benefit, tidak hanya diperoleh “keuntungan” yang bersifat material, namun juga keikhlasan, kesejahteraan, dan keberkahan serta kebahagiaan manusia.  Tahun 2016 telah datang. Selama manusia manusia masih ada serta hidup bersama alam, masalah-masalah kemanusiaan akan mengiringinya. Manusia membutuhkan persoalan kemanusiaan justeru untuk meningkatkan derajatnya sebagai manusia. Disinilah bisa diyakini, bahwa bencana itu sesungguhnya baik, luka-luka dan kematian itu sesungguhnya baik, kehilangan dan kesedihan serta duka lara itu sesungguhnya baik, selama ia menjadikan manusia menyadari eksistensi serta tujuan penciptaan dirinya di tengah semesta ini.  “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Maka esensi dari kerja-kerja kemanusiaan sesungguhnya bukanlah menyelamatkan manusia dari kematian, rasa sedih, rasa kehilangan, rasa lapar atau menghindari bencana, tetapi mengajak manusia untuk kembali pada kesadaran eksistensialnya sebagai manusia, yang memiliki fungsi kehambaan dan kekhalifahan. Kerja-kerja kemanusiaan adalah salah satu wujud ketundukan kepada Sang Pencipta, apapun keimanan Anda! Itulah sebabnya Tuhan tidak mengatakan akan menjadikan “orang-orang beriman” tetapi “menjadikan khalifah” terkait rencana-Nya menciptakan manusia yang Dia sampaikan di hadapan para Malaikat. Hanya saja, orang-orang beriman adalah “manusia elit” dari keseluruhan fungsi kekhalifahan manusia yang ada di muka bumi, yang dipilih khusus oleh-Nya, untuk menyelamatkan manusia dan semesta dengan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Wallahu a’lam bisshawwab. Aksi Cepat Tanggap

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline