Lihat ke Halaman Asli

Aksi Cepat Tanggap

Organisasi Kemanusiaan

Lanjutan Kisah Pengungsi Suriah di Yunani: Perjuangan Berat demi Melanjutkan Hidup

Diperbarui: 12 Oktober 2015   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengungsi Suriah di Yunani

Di antara kepungan asap yang membubung di Indonesia, kabar tentang beratnya derita perjuangan hidup pengungsi Suriah masih harus tetap dipantau. Kemanusiaan tak boleh mengenal kata luput, tak boleh dilupakan. Ketua Tim SOS Syiria – ACT yang diterjunkan ke Jerman, Hastrini Nawir, kembali membawa cerita dari Jerman. Usai mengamati dinamika penanganan pengungsi Suriah di Jerman, Ia memandang penanganan di Jerman relatif baik dibanding pengungsian di negara lainnya di Eropa.

Fenomena gelombang pengungsian ke Yunani mendorongnya menuju negeri kelahiran filsuf Barat dan asal mitologi dunia. Di Yunani, tepatnya ke pulau Lesvos. Hastri menjejakkan kakinya, mendengar keluh kesah dari perjuangan berat pengungsi Suriah. Berikut lanjutan kisanya, ditulis di sela panjajakan wilayah distribusi bantuan kemanusiaan.

Pagi-pagi pada 6 Oktober 2015, Saya, Kevin (relawan lokal), Yopi (warga Indonesia yang tinggal di Jerman) dan George (pengemudi), mendarat di bandara Mytilini, pulau Lesvos, Yunani. Dari Athena kami menggunakan pesawat kecil – mengingatkan saya penerbangan saat dari Medan ke Lhokseumawe, ke pulau Lesvos ini. Di sini hampir bisa dikatakan tidak ada transportasi umum. Para pengunjung biasanya menyewa kendaraan atau naik taksi. Dari bandara kami naik taksi menuju penginapan yang berjarak 10 kilometeran. Di perjalanan kami melewati pelabuhan Mytilini. Setiap hari kapal besar di pelabuhan mengantarkan ribuan pengungsi ke Athena untuk kemudian bisa melanjutkan perjalananya ke utara Eropa, negara tujuan umumnya Jerman dan Swedia.

Di perjalanan, saya saksikan rombongan pejalan kaki, cukup banyak, berarakan. Saya baru sadar beberapa saat, mereka para pengungsi Suriah yang berjalan kaki dari tempat mereka berlabuh ke kamp pengungsian. Mereka berjalan berkilo-kilometer, menurut informasi, mereka berjalan kadang sampai beberapa hari.

Di kamp mereka menjalani proses registrasi untuk bisa dikirim ke Athena dengan kapal dari pelabuhan Mytiline. Sebenarnya ada beberapa bus yang disediakan untuk mengangkut para pengungsi dari pantai tempat mereka berlabuh menuju kamp pengungsian, tapi jumlah bus yang terbatas tidak sebanding dengan jumlah pengungsi yang mencapai ribuan setiap harinya. Maka mereka memilih berjalan kaki ketimbang menunggu bus hingga beberapa hari lamanya.

Kondisi para pengungsi yang berjalan kaki, menyedihkan. Mereka dengan sisa tenaganya perlahan menuju kamp untuk mendaftar. Kiri-kanan beberapa kali bersua warga setempat, akan tetapi para penduduk lokal dilarang membantu mereka. Siapa yang kepergok membantu pengungsi, mereka bisa ditangkap polisi. Di Mytilini ini, turis, penduduk setempat dan juga pengungsi, saling bertemu dan saling memandang tanpa ada interaksi. Bahkan, antar mereka, tidak tahu-menahu satu sama lain, bersibuk diri dengan urusannya. Pengungsian ini menjadi ironi di pulau Lesvos, pulau wisata yang banyak dikunjungi turis.

Meski begitu, pulau ini juga menjadi ‘titik transit’ ribuan pengungsi Suriah. Menurut seorang pengemudi setempat, kebanyakan penduduk Lesvos tidak tahu bagaimana situasi pengungsi di dalam kamp. Bahkan pengemudi lokal yang saya ajak berbincang tadi, baru pertama kalinya masuk ke kamp pengungsian.

Di Lesvos ada dua kamp: Moria dan Kara Tepe. Kara Tepe dihuni para pengungsi Suriah. Umumnya pengungsi Suriah yang ada di kamp Kara Tepa, orang kaya (membawa banyak uang), sedangkan pengungsi yang di Moria lebih memprihatinkan, tak ada uang (awalnya mereka membawa uang, disimpan dalam tas yang mereka simpan di perahu. Saat perahu mulai sesak, terpaksa sejumlah barang dikeluarkan, termasuk tas uang mereka ikut terbuang).

Hari pertama di Lesvos, saya ditemani relawan dan pengemudi lokal, mengunjungi kamp Kara Tepe. Kami diizinkan masuk karena ditemani Kevin, dokter yang bergerak ke tiap-tiap kamp. “Dia bersama saya,” kata Kevin kepada petugas lokal penjaga migran. Di kamp ini saya mengunjungi tenda UNHCR, di tempat pengungsi menanti giliran registrasi. Tanpa tengok kiri-kanan, saya main motret saja. Tiba-tiba seorang pengungsi menegur keras, keberatan dipotret. “Hapus semua foto-foto Anda,” bentaknya dengan wajah merah-padam sembari tangannya bergerak hendak meraih handphone saya. Saya terkejut sejenak, lalu segera menguasai diri dan minta maaf. Untung ada George, pengemudi lokal yang menemani saya, sehingga insiden itu lekas berakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline