[caption caption="Usai Pertunjukan, para santri kelas 6 berfoto bersama jajaran Pimpinan Pondok Modern Gontor (Sumber: Gontor)"][/caption]Jumat minggu lalu, ketika sebagian lelaki matang seumuran saya mengantri tiket pertunjukan Bon Jovi di Gelora Bung Karno, saya berangkat ke Gontor. Di samping menjenguk salah satu anak saya yang sedang menuntut ilmu di Pondok Negeri Lima Menara ini, saya juga hadir di sana dengan tekad bulat untuk menonton pertunjukan Panggung Gembira yang tingkat spektakulernya bisa dipastikan gak bakalan kalah oleh Bon Jovi sekalipun.
Harap dicatat, Panggung Gembira masuk dalam kategori pertunjukan limited edition. Tidak bisa sembarang orang dapat beruntung bisa menyaksikan pertunjukan kolosal ini. Sebagaimana disampaikan salah satu pimpinan Pondok Gontor, Kiyai Hasan Abdullah Sahal, dalam pidatonya bahwa Panggung Gembira diselenggarakan khusus untuk kalangan sendiri.
“Kita yang main, kita yang nonton, dan kita sendiri yang menilai. Kalau bagus kita puji, jika tidak bagus kita perbaiki,” tegasnya.
Ini adalah pengalaman pertama saya menonton hingga tamat Panggung Gembira di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Pada tahun-tahun sebelumnya, di tengah pertunjukan saya sudah hengkang meninggalkan gelanggang. Harap maklum, saat itu sebagai penonton saya selalu menempati barisan paling belakang. Tentu saja, dalam kondisi seperti ini saya tidak akan bisa menikmati aksi dan kreasi para santri Gontor tahun terakhir ini secara hikmat.
Alhamdulillah, Obhit, anak saya memberikan kiat khusus kepada saya agar jauh sebelum azan isa berkumandang saya harus sudah standby di depan pintu masuk.
“Inshaa Allah, Papa nanti bisa duduk dekat panggung,” katanya.
Sebagai seorang musafir, saya telah menjamak salat magrib dengan isa. Jadi, kesempatan untuk berdiri langsung tepat di depan pintu masuk gelanggang pun sangat terbuka luas. Dan Alhamdulillah, ketika sang penjaga mempersilakan para calon penonton untuk melewati pintu masuk, saya bisa bergegas hingga mendapatkan posisi paling strategis buat menonton pertunjukan Panggung Gembira ini.
Acara dibuka dengan penampilan tiga orang MC yang memandu acara dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Inggris. Acara demi acara berjalan sambung menyambung. Nyaris tanpa jeda. Ketika sang penampil tengah mempersiapkan properti di pentas, perhatian para penonton akan mengarah pada tayangan pada layar LED. Sangat beraneka macam: mulai dari plesetan iklan hingga cuplikan-cuplikan video yang menarik perhatian.
[caption caption="Tari Famire, kreasi santri kelas 6 Pondok Modern Gontor (Sumber: Gontor)"]
[/caption]Bagaimana dengan kreasi penampilannya? Simaklah judul-judul pertunjukan yang saya saksikan malam itu: Ketika Arjuna Bertasbih (Wayang), ‘Alangkah Lucunya Negeri Bento’ (Opera), ‘Guru Bangsa, HOS Cokroaminoto’ (Drama Tragedi), ‘Goku Goes to Campus’ (Masquerade), dan Surga Satu Menara (Kolaborasi Drama Panggung dan Drama Visual).
Inilah untuk pertama kalinya saya menyaksikan petunjukan wayang orang yang dipadu dengan wayang kulit sekaligus wayang golek. Dan inilah pula untuk pertama kalinya saya menyaksikan pertunjukan wayang dalam bahasa Arab. Ya, dialog serius maupun penuh canda disampaikan dengan pengantar bahasa Arab.
Malam itu, yang terpikat dengan kreasi dan karya cipta anak-anak setingkat kelas XII SMA itu, rupanya bukan saya saja. Kiyai Hasan menilai seluruh penampilan sungguh melampaui dugaannya.