Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Haryo PS dan Kebanggaan Semu

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1295104478193779253

[caption id="attachment_84844" align="alignleft" width="420" caption="Kasal Laksamana TNI Suparno menyerahkan hadiah kepada Wahyu."][/caption]

Tadinya saya menyangka kalau Wahyu masih menyandang predikat lajang. Saya mendapat titipan dari beberapa anggota Kowal (Korps Wanita TNI AL)  untuk dicarikan calon pendamping. Dilalah, dia sudah punya anak. Dua lagi!. Jadinya saya mengurungkan niat mulia itu. Mohon maaf kepada mbak-mbak Kowal, kali ini saya gagal menjadi mak comlang; tidak dapat memenuhi permintaan Sampeyan.

 

Di atas geladak helly KRI Surabaya,  sambil menantikan Upacara Tabur Bunga, mengenang pengorbanan Komodor Yos Sudarso dalam Pertempuran Aru 48 tahun yang lalu. saya berbincang dengan Wartawan Kompas yang wajahnya bak anak  SMA itu. Sabtu Pagi (15/1) Selat Madura tampak cerah. Suasana langsung cair. Tanpa basa-basi Wahyu bercerita tentang pengalamannya selama sembilan bulan berlayar dengan kapal latih tiang tinggi KRI Dewaruci ke perairan Asia, Eropa, dan Afrika.

 “Saya merasakan betapa beratnya bertugas di KRI, lebih-lebih di kapal layar semacam Dewaruci. Saya melihat dengan mata dan kepala saya sendiri bagaimana jiwa para ABK terancam akibat amukan gelombang dan angin, tiang kapal nyaris patah. Betapa tegangnya mereka ketika peran kebocoran dikumandangkan. Air melimpah memenuhi lunas kapal,” ujarnya.

[caption id="attachment_84846" align="alignright" width="300" caption="Upacara Hari Dharma Samudera"]

12951050472069520963

[/caption]

Pengalaman selama berlayar dengan KRI Dewaruci telah mematri sikap empati Wahyu hingga lahirlah sebuah artikel berjudul “Jangan Biarkan Kebanggaan Itu Semu”.

Tulisan ini mengantakannya meraih juara I Lomba Penulisan Artikel dalam Rangka Peringatan Hari Armada dan Hari Dharma Samudera.

Di dalam artikel itu Wahyu menyoroti betapa tidak sebandingnya antara pengorbanan para ABK dengan nilai kesejahteraan yang diterima.

“Sungguh ironis ketika mengetahui kesejahteraan yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan risiko pertaruhan nyawa dan misi besar yang mereka sandang. Semula saya membayangkan, sepulang berlayar pastilah pelaut-pelaut ini mengantongi uang yang lumayan besar bagi anak istrinya. Nyatanya, uang berlayar yang mereka dapatkan hanya Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan. Uang saku yang diberikan hanya saat bersandar berkisar Rp 3 juta per bula,” tulisnya.

“Rasanya ingin menangis ketika menerima titipan uang dari sejumlah awak KRI Dewaruci. Uang itu sengaja dititipkan agar saat saya kembali ke Tanah Air bisa segera dikirimkan kepada keluarga mereka. Jumlahnya beragam, mulai dari ratusan ribu rupiah hingga kurang dari Rp 2 juta. Saya tahu uang itu benar-benar dibutuhkan keluarga mereka karena sesaat setelah saya mendarat di Jakarta, salah seorang istri awak KRI Dewaruci menghubungi saya dan menanyakan uang titipan tersebu,.” lanjutnya.

Di penghujung artikelnya Wahyu bertanya, “jika demikian adanya, akankah kita membiarkan kebanggaan mereka sebagai pelaut ulung, bangsa yang mewarisi jiwa bahari dari negara kepulauan terbesar itu, sebagai sebuah kebanggaan yang semu?”

 

     




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline