April lalu kami melangsungkan bakti sosial di Pulau Kapoposang. Acara yang dilansungkan di paulau yang masuk wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan ini sungguh mengesankan mengingat jumlah personel yang dilibatkan lumayan besar. Tidak kurang dari 500 orang terlibat di dalamnya. Mereka adalah perwakilan dari Lantamal VI, Bank Mandiri, Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) Sulsel, Vihara Girinaga Jl. Sulawesi Makassar, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Buddhis (IMKIS) Unhas, dan Indonesia Vegetarian Asociaty (IVS).
Jumat siang 16 April 2010, kami yang bergabung dalam tim aju, berangkat mendahului rombongan utama. Kami mendahului agar dapat mempersipkan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan bakti sosial nanti. Udara sangat bersahabat. Tak ada mendung mengambang di langit. Awan putih berjejer berbalut warna keemasan disinari sang surya yang telah bersiap menuju ke peraduannya.
Sejak pagi kami melakukan embarkasi. Peralatan komunikasi dan segenap kebutuhan logistik selama dua hari telah dinaikkan ke KRI Suluh Pari. Tak ada hambatan berarti. Rasa lelah saja yang menghampiri setelah seharian mengatur barang-barang yang harus kami bawa mulai dari tenda peleton, bahan makanan, obat-obatan dan kelengkapan medis bekal bakti kesehatan kami di sana.
Pukul 14.00 WITA KRI Suluh Pari bertolak. Ombak lumayan tenang; langit juga cerah. Sepanjang pelayaran kami melewati beberapa pulau kecil yang masuk dalam wilayah Makassar maupunwilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Tiga jam kami habiskan dalam perjalanan hingga akhirnya pulau eksotis yang menjadi tujuantelah tampak di hadapan kami. Ibarat gadis yang sedang berjemur di pantai, Pulau Kapoposang tampak anggun di hadapan kami. Cahaya keemasan matahari senjamenambah moleknya Pulau Kapoposang.
Di tengah perairan Sulawesi dengan kedalaman lebih dari 400 m, KRI Suluh Pari melakukan lego jangkar. Merapat mendekati pulau Kapoposang adalah tindakan nekat. Kapal bisa kandas. Perairan di sekitar dermaga memang sangat dangkal.
[caption id="attachment_75845" align="alignright" width="300" caption="Peta Pulau dan Perairan Kapoposang (sumber: google)"]
[/caption]
Perahu-perahu joloro yang telah disepakati dalam rapat terakhir akan menjemput ke tengah perairan itu, tidak tampak ada tanda-tandanya telah menyongsong kami. Dalam tempo sekejap laut menjadi gelap. Gemuruh angin berpadu dengan hempasan ombak silih bergantimenghantam lambung KRISuluh Pari. Dalam cahaya remang-remang, Kapoposang sudah tidak menampakkan keanggunannya. Kami hanya melihat bayangan hitam pulau itu, kelam bagai sarang hantu.
Selama satu jam kami berjibaku melawan hempasan angin dan ombak sampai kemudian kami melihat kerlipan lampu di kejauhan. Sebuah perahu joloromendekat. Ombak masih baku goyang menyebalkan. Kapal perang dengan joloro muncul tenggelam laksana timbangan. Kadang joloro melorot ke bawah mengikuti alun gelombang, sementara KRI Suluh Pari berada di posisi atas. Demikian bergantian. Situasi ini sungguh sangat menyulitakan proses debarkasi bahan logistik yang kami bawa dari Makassar. Oh Tuhan, dalam kondisi gelap gulita itu, lima jam kami habiskan untuk memindahkan barang logistik ke lima perahu joloro yang datang dan pergi silih berganti.
Setelah seluruh kebutuhan logistik didaratkan, kami secara bergiliran naik sekoci menuju Pulau Kapoposang. Dalam kilatan cahaya senter, saya bisa melihat betapa jernihnya perairan kapoposang. Hamparan terumbu karang tampak indah terawat di dasar laut.
Sesampai di darat, tanpa menunda waktu, kami langsung aksi mendirikan tenda peleton, membangun dapur lapangan, dan menyiapkan posko komunikasi.Pukul satu dinihari pekerjaan Bandung Bondowoso itu rampung. Lega rasanya.
Kami pun dapat berkomunikasi dengan markas komando di Makassar. Seandainya pesawat komunikasi tidak bisa beroperasi, apalah jadinya. Sulit membayangkan bagaimana kami dapat berhubungan dengan dunia luar. Telepon seluler secanggih apa pun tidak berguna di sini. Jangan bermimpi, di sini tak ada secercah sinyal pun yang tertangkap telepon genggam, dari operator mana pun.
Minggu 18 April 2010, pukul 06.00 WITA kami sudah siap di bibir pantai, menyongsong kehadiran rombongan utama. Mereka berangkat dari Makassar dengan Kapal perang jenis LST (Landing Ship Tank), KRI Teluk Penyu. Bergabung di kapal itu para dokter, paramedis, beserta ratusan relawan lainnya. Saya dengar para pemilik toko sepanjang Jalan Sulawesi Makassar menyumbangkan sebagian isi tokonya untuk warga Pulau Kapoposang. Beras, gula, pakaian, susu, obat-obatan, mainan anak, dan segala pernik yang mereka jualmemenuhi dek kapal. Tidak kurang dari 500 orang bergabung di atas kapal LST itu.
[caption id="attachment_75846" align="alignleft" width="300" caption="Sisi lain Kapoposang (sumber: google)"]
[/caption]
Sedikit kekhawatiran mengganggu pikiran saya. KRI Teluk Penyu tidak mungkin dapat merapat ke pantai. Lantas bagaimana dengan para penumpang kapal besar itu yang sebagian besar di antaranya adalah kaum perempuan. Urusan mendaratkan pasukan,kami sudah berpengalaman. Dalam latihan-latihan operasi amfibi kami biasa mendaratkan ribuan pasukan marinir. Mereka sudah terlatih, diturunkan di lautan mana pun mereka masih bisa bertahan. Memindahkan 500 orang masyarakat sipil dari kapal besar ke perahu joloro, saya sulit membayangkannya. Mampukah mereka melangkahkah kaki dari KRI Teluk Penyu ke perahu joloro, di tengah laut dengan perubahan cucaca yang sulit diprediksi?
Alhamdulillah, proses debarkasi bagi 500 penumpang dan sekian ton sumbangan dapat berjalan lancar. Tak ada insiden apa pun. Hari itu kami bahu membahu menyumbangkan segala kemampuan yang dimiliki masing-masing. Para tenaga medis melaksanakan pengobatan dan berbagai tindakan medis di satu-satunya bangunan SD yang ada di Pulau Kapoposang. Anak-anak yang dikhitan tampak bergembira menerima bingkisan sarung dan pakaian. Pihak bank Mandiri yang menjadi sponsor kegiatan itu membagikan uang lembaran seratus ribuan bagi setiap anak yang dikhitan.
Sumbangan dari anggota Walubi mengalir seperti tak ada hentinya. Ratusan nelayan hari itu memutuskan untuk tidak melaut karena beras dan kebutuhan sembakomereka tercukupi hingga tiga hari ke depan. Sebuah MCK (Mandi, Cuci, Kakus) tegak berdiri lengkap dengan pompa airnya.
Dan akhirnya, saat perpisahan pun datang juga. Kami bertolak kembali ke Makassar. Ketika rombongan utama seluruhnya telah berpindah ke KRI Teluk Penyu, kami yang tergabung dalam tim aju berkemas langsung menuju KAL Saugi. Tatapan mata warga Kapoosang di bibir pantai mengiringi kami. Kapal kecil ini lalu melesat meninggalkan perairan Kapoposang dalam naungan hari yang beranjak senja.
Adakah kesempatan kembali ke Pulau Kapoposong? Harus ada. Saya belum sempat menikmati daya tarik dinding karang dengan kedalaman mencapai ratusan meter. Belum sempat meyaksikan pesona bawah air Pulau Kapoposang di titik Penyelaman Gua (Cave Point), Titik Hiu (Shark Point), dan Titik Penyelaman Penyu (Turtle Point).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H