Lihat ke Halaman Asli

Botol-botol Bening Berisi Air Mata dan Jejak Pada Tanah Basah dalam Gerimis di Beranda

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku melihatnya datang dalam gerimis. Tubuh kurusnya terbungkus celana panjang hitam dan kemeja kotak-kotak berwarna krem. Lengan kemejanya dilipat sampai bertemu siku tangannya. Dia datang dengan kepala agak menunduk, membuka tangan kanannya di depan kening, sekedar melindungi wajahnya dari gerimis Pelan-pelan sekali dia melangkah, satu-satu…satu-satu…Sesekali kepalanya menengok ke kanan dank e kiri, lalu sebentar menatap ke depan, juga menengadah.

Dari dalam beranda, aku menatapnya dengan secangkir kopi panas pada genggaman tangan. Baru saja aku menyilangkan kedua kakiku yang terbungkus kaos kaki, kehangatan diantara gerimis selalu jadi sensasi yang kunikmati dengan intim. Aku sering berada disini, terutama ketika musim hujan datang. Beranda rumahku ini tidak terlalu besar, tapi terasa sangat besar dengan halaman rumah tak berpagar yang selalu bisa kunikmati indahnya dari bening kaca di beranda. Pohon-pohon besar yang basah bermandikan gerimis membawa kelembabannya sampai ke dalam beranda. Aku kedinginan. Kutarik selimut yang sedari tadi kulipat di atas pangkuan. Kututupkan pada kaki sampai sebatas paha. Aku mengayunkan pelan kursi malas yang selalu jadi tempatku duduk berlama-lama.

Dia mulai mendekati beranda rumahku. Berhenti sejenak di depan pintu dengan menepiskan jari-jari tangannya pada kemeja dan celananya yang basah kuyup. Sepatu kulit warna coklatnya ,yang kuyakinwarnanya lebih muda daripada sebelum kena air hujan, di lepas dan di tinggalkannya sebelum menginjak keset. Semua kulirik dengan mataku, sambil sesekali ku minum kopi panasku. Lalu kudengar pintu terbuka. Kakinya melangkah perlahan memasuki beranda, tempatku duduk mengamatinya sedari tadi. Siapa dia?

“Dia hanya menganggapku sampah. Tiap hari selalu memaki,” Laki-laki itu memulai ceritanya sambil duduk di sampingku dengan memegang secangkir kopi panas. Bagaimana bisa dia membuat secangkir kopi dari dapurku? Aku tidak mengenalnya! Matanya lurus memandang halaman rumahku yang masih ditingkahi gerimis. Tubuhnya terbungkus pakaian basah kuyup. Matanya meredup.

“Aku mencintainya lebih dulu, jauh sebelum anak-anak kami terlahir,”

Lama ceritanya di kisahkan padaku dalam raut wajah yang begitu pucat. Sesekali aku mendengar ceritanya. Sesekali gerimis terlalu menghipnotis dan mengganggu pendengaranku. Kami tidak saling memandang selama bibirnya terus berkisah. Sedikit demi sedikit kopi hitamku makin menemui dasar cangkir. Ketika tiba-tiba dengan perlahan dia meraih tangan kananku. Meremasnya begitu kuat dengan mata yang meneteskan airmata. Erat di genggamnya tanganku dalam bibir yang tak hentinya berkisah. Diletakkannya jemari tanganku yang tadi erat-erat digenggamnya pada dadanya. Basah. Dingin.

Dia berdiri. Mengambil cangkir kopiku yang sudah kering dan meletakkannya di samping cangkir kopinya yang masih penuh di meja yang letaknya dua langkah di samping tempatnya duduk. Lalu dia menyibak selimut yang menutupi kakiku dan duduk begitu saja di kursi malasku yang sebenarnya tak cukup menampung dua tubuh kami. Merebahkan tubuhnya pada bahuku dengan tangan kirinya yang kembali menggenggam erat tangan kananku di dadaku. Mulutnya terus berkisah,

“Cintaku tak pernah cukup untuknya. Selalu saja ada kekuranganku yang terendus olehnya. Aku lelah. Aku lelah mengajarinya menerima diriku apa adanya,”

Airmatanya makin deras. Dan tiba-tiba jemari tangan kiriku mengusap-usap kepalanya. Rambutnya mulai agak kering dari air hujan, tapi masih terasa lembab disana. Aku membelainya. Aku membelai laki-laki yang tak kukenal. Dan dia memelukku makin erat. Sangat erat. Kuselimuti tubuhnya dengan selimutku. Kami terdiam, menunggu gerimis reda, menunggu ceritanya usai.

Tanpa kusadari, bibirnya mencium bibirku. Aku diam tertegun dalam pelukan yang rapat. Ciumannya lama, sangat lama. Dan aku membalas ciumannya. Kami saling melumat. Sekujur tubuh kami menghangat, ketika sentuhan demi sentuhan membangkitkan gairah. Dan kami sama-sama telanjang di atas karpet, tak jauh dari kursi malas. Bergumul dalam birahi yang datang tanpa permisi. Dia diatas tubuh telanjangku, meremas sekujur tubuhku dengan mata tertutup. Dan tubuhku yang sedari tadi tak tersentuh air hujan, seketika basah. Kami saling menghangatkan dalam desah dan pekik panjang yang menghentikan gerimis.

Aku lemas terkulai dalam mata terpejam di bawah selimut, ketika dirimu beranjak. Mengenakan kembali bajumu. Berdiri membelakangiku, lalu berjalan mendekati pintu. Pintu itu kau buka. Semilir angin dingin menerobos masuk menerpa kening dan pipiku. Mataku terbuka perlahan. Dan pintu itu tertutup kembali. Aku membungkus tubuh telanjangku dengan selimut dan segera berdiri. Mataku mendapati tubuhmu sedang menunduk memasang sepatu. Dan tubuhmu berlalu. Melangkah meninggalkan beranda dan tubuh telanjangku yang terbungkus selimut.

Beberapa musim hujan dan gerimis yang bertandang tak pernah lagi membawamu kembali kemari. Dan aku masih disini. Di dalam beranda dengan secangkir kopi panas, kaki yang terbungkus kaos kaki, selimut yang menutupi hingga batas pinggang dan gerimis di luar pada sekian musim setelah itu. Tidak lagi denganmu, tapi masih dengan beberapa laki-laki lain yang berwajah pucat, datang padaku seperti dirimu. Laki-laki yang tersesat dalam hujan, yang menghampiri beranda rumahku dengan beberapa cerita tentang airmata. Laki-laki yang datang menghampiri pintu rumahku, melepaskan sepatunya sebelum keset, disamping keset dan ada juga yang melepaskan sepatunya persis diatas keset di depan pintu rumahku. Laki-laki yang tiba-tiba memeluk erat dalam tubuhku dalam tubuh yang menggigil, lalu menciumku lama, saling melumat dan menggauli tubuhku dalam ketelanjangan dengan birahi menggebu-gebu.

Aku masih sama. Telanjang di dalam selimut yang membalut tubuh, berdiri mendapati kehilangan dan mendapati tubuhmu dan tubuh-tubuh mereka berlalu menjauh setelah gerimis berhenti. Yang berbeda sejak kepergianmu dan kepergian mereka hanya botol-botol bening bertutup kayu yang berjejer rapi di bahu kaca beranda rumah. Botol-botol bening yang ku tata dari sebelah kiri menuju ke kanan. Botol-botol bening yang kunikmati sepanjang tahun, terlebih ketika kemarau datang begitu panjang. Botol-botol bening berisi airmatamu dan airmata mereka. Botol-botol bening berisi jejak kakimu dan jejak kaki-kaki mereka pada tanah basah di halaman rumahku.

Kamu dan mereka masih ada di beranda rumahku. Sesekali membuatku tak kuasa menunggu musim hujan datang membawa laki-laki lain datang kemari. Laki-laki yang tersesat dalam hujan dengan wajah pucat, airmata dan birahi menggelegak. Laki-laki tumbang yang datang mengangkangi tubuh telanjangku yang gagu dalam pergumulan birahi. Gagu dalam bisu yang menjerat kelemahanmu dan kelemahan mereka. Terdiam menikmati airmata dan kemaluan kalian dengan selangkangan yang menertawakan keruntuhan kalian dari balik botol-botol bening berisi airmata dan jejak pada tanah basah dalam gerimis di beranda. Botol-botol bening yang mencandui kedatangan kalian ketika meruntuhkan ikatan akad dalam sekejap.

:: Satu dari beberapa cerita yang ada pada,
http://thedarknessofsatire.blogspot.com/2012/03/botol-botol-bening-berisi-airmata-dan.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline