Oleh : Yahya Ado*
LUAR BIASA. Bangsa ini besar dan hebat. Besar karena penduduknya yang lebih dari tiga ratus juta jiwa. Kaya akan beragam suku, agama, adat dan budaya yang unik. Masyarakatnya hidup di antara pulau-pulau dengan deretan nyiur yang melambai-lambai. Ada pula yang tinggal di deretan padang rumput dan hutan belantara sampai di lereng gunung dan bukit. Indonesia pun hebat karena negeri ini dibangun atas perjuangan hidup dan mati oleh para pejuang dulu, kini dan nanti. Di negeri ini sang saka merah putih merdeka berkat titisan darah dan air mata para pahlawan tempo itu.
Kini merah putih bebas berkibar di seluruh polosok nusantara. Garuda yang gagah perkasa pun turut melebarkan sayap terpacung tegap dari istana negara hingga ke ruang kelas di dusun sunyi. Sekiranya semua itu penting untuk terus dimengerti artinya oleh pemilik generasi hari ini dan besok. Karena bung Karno, the founding father telah berpesan 'jas merah', jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Kita semua di negeri mengakui idiologi pancasila sebagai dasar negara. Bhineka tunggal ika diamini sebagai nilai moral bermasyarakat dan telah menjadi falsafah hidup berbangsa. Maka sudah pantas bila nilai luhur yang terkandung pada keduanya patut menjadi teladan dalam sikap dan prilaku seluruh rakyat Indonesia.
Tapi hari ini kenyataan tidaklah demikian yang terjadi. Nilai moral yang tersirat nyaris tidak bernyawa dan tanpa tuan. Karena kebebasan beragam yang sejatinya dijamin konstitusi, telah dinodai dengan sikap 'kekuasaan' segelintir kaum atas kaum yang lain.
Lihat saja wajah Indonesia kini. Kekerasan antar agama bersahutan terjadi. Belum usai kasus Cikeusik, Banten dengan motif penyerangan warga Ahmadiyah, Temanggung, Jawa Barat kemudian menyusul dengan indikasi perusakan sejumlah gereja. Tindakan ini memicu intoleransi antar umat beragama. Sebab persepsi kebebasan dalam beragama menjadi bias, sehingga segelintir orang tidak mengakui kedudukan agama orang lain. Padalah jelas, bahwa setiap agama samawi itu datang dari Tuhan. Sedang yang beda adalah cara beribadat menuju surganya Tuhan.
Tidak ada yang salah jika semua umat beragama mengharapkan surga. Tapi perlu disadari bahwa surga tidak bisa ditebus dengan mengakhiri nyawa orang yang tak berdosa. Apalagi sampai mengusir dan merusak tempat ibadah umat tertentu. Karena jelas undang-undang di negeri ini membebaskan setiap manusia untuk memeluk suatu agama dan bebas menjalankan ibadah seturut agama yang dipercaya
Maka itu, pantas untuk digaris bawahi bahwa jangan pernah melihat kebenaran agama orang lain dari kesempurnaan agama yang kita anut. Karena kita tidak bisa mencapai titik puncak kebenaran hakiki suatu agama dalam logika kita sendiri. Sebab hakikat beragama ada di rana keyakinan principle dan sangat personal, meski ajaran agama itu sifatnya universal.
Falsafah hidup beragama ada pada iman yang menghujam di hati. Bukan pada ruang imajinasi semu. Karena agama sejatinya tidak menjamin kita masuk surga. Tapi justru derajat keimanan itulah yang akan mengantar kita menemui kehariban Tuhan dalam hening dan tenang. Maka itu tidak perlu menghakimi apalagi menghukum suatu umat itu sesat, karena tidak ada jaminan bagi kita, bahwa apa yang kita perbuat paling benar di mata Tuhan.
Rasa-rasanya, nilai luhur pancasila dan bhineka tunggal ika tidak lagi tumbuh di nadi sejumlah orang beragama. Bahkan tega membungkus Indonesia dalam separuh jiwa yang nyaris mati. Membuat kerukunan hidup di negeri ini kian mahal, oleh karena surga teramat murah untuk dijual. Tapi apapun sebabnya, kedamaian tidak pantas terkubur di tanah ini. Salam Perdamaian. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H