Lihat ke Halaman Asli

Yahya Ado

Penulis dan Praktisi Pendidikan

Rina, Anak Sang Perantau

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rina Pertiwi, gadis 12 tahun. Kulitnya sawo matang. Rambut ikal dikepang dua. Keseharian belajar di sekolah dasar kelas V. Ia dan kakanya Mila (15) ditinggal pergi oleh kedua orang tua sejak ia masih berusia 6 tahun.  Rina panggilan akrab gadis ini bersama kakaknya dititipkan kepada nenek dan kakek mereka di sebuah desa terpencil di atas pegunungan, jauh dari keramaian kota. Orang tua Rina merantau ke negeri Jiran Malaysia.

Karena keterbatasan biaya, Mila kakak Rina tidak melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Sementara Rina masih tetap bersekolah di Sekolah Dasar (SD) di kampung di mana mereka dititipkan.

Rina terus didukung oleh sang kakak untuk terus sekolah. Setiap pagi ia diajarkan  untuk berjualan kue hasil kerja sang kakak tengah malam.  Sebelum pergi sekolah Rina berseragam keliling kampung menawarkan kue kepada penduduk di kampung itu.

Hari-hari Rina dan kakaknya melakukan pekerjaan itu demi mencukupi kebutuhan hidup mereka bersama kakek dan nenek serta membiayai sekolah Rina. Mereka pun sering bersama-sama membantu sang kakek dan nenek ke kebun  yang berlokasi di tebing gunung tak jauh dari desa itu.

Tinggal di rumah kumuh, tanpa hiburan radio apalagi televisi membuat mereka merasa sengat sepi ketika malam menjelang. Rina hanya menyempatkan diri untuk membaca atau mengerjakan tugas sekolah. Sementara sang kakak seperti biasa sibuk menyiapkan jualan kue esok hari. Sang kakek dan nenek biasanya sering lebih awal tidur karena kecapean.

***

Suatu hari, Rina tidak pergi ke sekolah karena alasan sakit demam-malaria. Memang kampung ini cukup akrab dengan penyakit endemik malaria. Setelah berdiskusi dalam keluarga kecil, mereka memutuskan sang kakek menjaga Rina di rumah. Sedang Mila dan neneknya ke kebun mengambil hasil panen yang tersisa.

Mereka masing-masing mulai melakukan pekerjaan seperti yang direncanakan. Rina terus berbaring sambil menggigil. Tidak ada polindes di kampung untuk berobat. Mereka  merawatnya di rumah saja. Ini memang sudah menjadi tradisi masyarakat di kampung itu. Mereka jarang membawa anggota keluarga yang  sakit ke polindes/puskesmas terdekat.  Sang kakek pun menjaga Rina di atas tempat tidur beralas tikar dan beberapa potongan kain.

Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba sang kakek yang penyayang dan penuh perhatian berubah menjadi seorang yang kasar dan ganas. Bagai singa mengahadapi mangsanya. Rina tak berdaya menghindar dari kebiadaban sang kakek. Sang kakek dengan paksa membuka sarung dan pakaian yang dikenakan Rina. Karena berhasrat meniduri rina demi kepuasan syahwat bejatnya. Ampun Tuhan.  Maka terjadilah peperangan antara sang cucu dan si kakek jahat itu.

***

Rumah itu terasa sunyi, bagai tak bertuan. Tak ada suara apapun terdengar dari balik gubuk. Mila membuka pintu  darurat  dari bambu yang tak diikat tali. Lalu membuka gorden pintu dari kain batik lusuh. Mila terkejut melihat keberadaan adik dan kakek yang tak menutup sebenang kain pun di tubuh.mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline