Isu yang sorotan di media saat ini salah satunya adalah penolakan dengan Aksi Unjuk Rasa terhadap pemekaran atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Papua. Wacana penolakan ini cukup masif dilakukan di beberapa wilayah Papua. Beberapa Aksi Unjuk Rasa mengakibatkan kerusakan Fasilitas Umum dan hingga meninggal dunia. Banyak pihak mendesak agar rencana pemekaran ini dikaji ulang atau ditunda sementara sampai situasi menjadi kondusif.
Wacana yang dikembangkan adalah pemekaran berpotensi akan mengasingkan Orang Asli Papua (OAP) dari tanah kelahirannya. Masyarakat asli Papua merasa terancam akan banyak imigrasi yang menetap, dan membuat OAP akan terasing dan terpinggirkan.
Kelompok yang mewakili masyarakat adat meminta agar Pemerintah melakukan pendataan, mana daerah yang layak dimekarkan dan tidak. Mereka meminta agar masyarakat dilibatkan, karena kebijakan yang sepihak dari Pemerintah Pusat dianggap dapat menimbulkan penolakan dari masyarakat, lalu muncul konflik sosial, pengerahan aparat, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Beberapa pendapat berisi penolakan muncul dari pemuka opini di Papua. Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib mengatakan bahwa menolak pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Papua, pasalnya jika prosesnya dipaksakan maka hal tersebut akan merugikan Hak dari OAP. Pertama adalah Hak atas informasi tentang rencana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). Kedua adalah Hak untuk dimintai konsultasi dan ketiga adalah Hak untuk dimintai persetujuan.
Timotius yang mewakili MRP meminta penundaan pembahasan 3 (Tiga) Rancangan Undang-Undang (RUU) DOB Provinsi Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah. "Masyarakat minta supaya pemekaran itu ditunda sampai dengan ada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)", sebut Timotius.
Kepala Suku Kimyal di Yahukimo, Nopius Yalak yang ditemui dalam sebuah wawancara mengatakan rasa pesimis terhadap adanya pemekaran ini. Mayoritas masyarakat akar rumput di Yahukimo yang terdiri dari 12 Suku menolak rencana pemekaran wilayahnya, karena 20 tahun Otonomi Khusus (Otsus) di Papua tidak mampu mensejahterakan OAP, tambah Nopius.
Sekalipun ada pemekaran dan otonomi baru, tidak berdampak pada masyarakat asli Papua. Pengalaman 20 tahun Otsus Papua, masyarakat tidak mengalami perubahan dalam kehidupan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sehingga masyarakat menolak Otsus Jilid II ini, sehingga muncul demo dan korban jiwa. Pemekaran (munculnya Kabupaten baru), akan merusak tatanan hidup masyarakat dengan alam, dari sisi ekonomi, sosial dan budaya.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menegaskan bahwa rencana pemekaran Provinsi Papua harus ditunda terlebih dahulu, pasalnya jika dipaksakan maka hal tersebut justru akan menimbulkan eskalasi yang semakin tinggi di Papua. Sudah ada 2 orang tewas akibat dari demonstrasi penolakan pemekaran baru, seperti di Yahukimo.