Hari mulai gelap, cuaca tampak cerah kala itu. Tak ada mendung, juga tak ada tanda akan turun hujan. Sabtu, 9 Maret 2018 sekitar jam enam sore atau setelah Maghrib kami berjanji untuk berkumpul dan nongkrong di pinggir jalan. Nongkrong? Oh! kata itu terlalu kencur buatku. Kayak anak muda saja.
Lha emangnya kita sudah tua? Enggaklah. Teman-teman saya masih muda. Tetapi saya mamah muda. Haha... Nongkrong yang saya maksud disini adalah duduk-duduk berkumpul sambil makan di warung tenda di pinggir jalan. Jadi, jangan negative thinking ya.. hehe... Makan di warung tenda pinggir jalan, soal rasa, juga tidak selalu kalah dengan makanan di resto atau kafe mahal. Makan bisa menjadi istimewa, juga tergantung dengan siapa dan makanan apa yang akan dimakan.
Di waktu yang telah ditentukan, kami benar-benar menepati janji. Enam wanita telah duduk satu meja. Sementara beberapa teman pria lebih memilih duduk di meja yang lain. Meskipun kami berbeda usia, namun obrolan tetap nyambung. Karena kami sama-sama cantik energik, dan tidak sombong. Halahh...
Ya, kami memiliki satu hobi yang sama yaitu suka menulis, sehingga perbincangan malam itu juga tak jauh-jauh dengan dunia media social. Membahas yang ringan dan renyah, serenyah kerupuk. Riuhnya arus lalu lintas jalan, tak kami hiraukan. Gelak tawa mewarnai obrolan, ketika salah seorang dari kami membagikan cerita atau pengalaman yang lucu.
Saking asyiknya mengobrol, sehingga saya sedikit terlambat menyantap makanan yang sudah ada diatas meja. Barangkali jika nasi dan sate ayam ini bisa bicara, pasti mereka akan meminta " Nikmati aku dulu, lalu lanjutkan ceritamu!" Oke lah, sambil mengobrol, pelan dan pasti, satu persatu daging ayam yang berjajar rapi ditusuk bambu itu akan berpindah ke dalam mulut, dan bergoyanglah lidah menikmati sensasi rasa sate SatayKato.
Berbeda dengan sate ayam pada umumnya yang berrasa manis, disini rasa sate cenderung gurih. Bagi penyuka manis, tinggal menambahkan sendiri sesuai selera, dengan kecap yang telah disediakan. Dalam penyajiananya, sate tidak ditemani saos bumbu kacang.
Tetapi disajikan dengan guyuran sambal. Apabila tidak menyukai pedas, bisa memesan tanpa sambal. Dan disini, jangan minta lontong ya.. karena sate disajikan dengan nasi. Untuk satu porsinya, berisi sepuluh tusuk sate. Saya sendiri menikmati sate yang berbumbu pedas. Guyuran sambal, awalnya membuat saya khawatir kepedasan. Demi mengurangi kepedasannya, sebelum menyantap, saya memberi kecap terlebih dahulu.
Soal pedas, please jangan nantang saya, karena saya bakalan takut. Hehe.. Akhirnya, isi piring saya kosong juga, makanan tak tersisa, tinggal tusuknya doang. Yang masih ada, hanya cerita untukmu. Kapan kamu akan nongkrong disini bersamaku? Yuhu... Warung tenda SatayKato ini terletak di jalan Kaliurang, depan fakultas Farmasi UGM Yogyakarta. Seperti warung tenda sore pada umumnya, SatayKato buka mulai jam lima sore hingga jam sebelas malam. Namun, jika sebelum jam sebelas, Anda tak menemukannya, mungkin saja sudah ludesalias habis.
Tak terasa, sudah lebih dari dua jam , kami menghabiskan waktu disana. Tak hanya kegembiraan bersenda gurau bersama, tak jua sekedar menikmati lezatnya sate. Juga tak cuma, nongkrong yang hanya menyia-nyiakan waktu. Bahwa setiap candaan dari kami, bukan hanya kata yang tak bermakna. Bagi saya pribadi, ada ilmu yang bisa saya serap disana.
Sekecil apapun itu, menambah pengetahuan saya. Pengalaman dari mbak Pipit, yang seorang aktivis Genpi (Generasi Pesona Indonesia) atau cerita seru dari mba Agi yang seorang beauty blogger professional, yang kadang tanpa titik koma, dan berakhir dengan tawa kami. Dan cerita dari teman lainnya, yang semua menginspirasi saya.
Bahwa bahagia itu sederhana, salah satunya adalah berkumpul bersama sahabat dan orang-orang yang bisa membuat kita tertawa lepas dan tulus. SatayKato Yogya, tentu menjadi saksi kebersamaan kami. Tentang keceriaan malam yang tak terlupakan.
Salam
Yatmi Rejeki