Wisata alam seperti apa yang menarik bagi Anda? Apakah yang bisa live in, camping, outbond, menikmati sunset dan sunrise, climbing dan rafling, bisa untuk tempat penelitian, tracking, fliying fox, tempat makrab, jelajah alam, wisata budaya dan ritual? Bagaimana jika semua itu bisa di dapat di satu tempat? Pasti akan sangat menyenangkan , bukan? Semua itu bisa ditemukan di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Gunung ini pernah aktif 30-60 juta tahun yang lalu, berada di kawasan Baturagung di bagian utara kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl memiliki suhu udara rata-rata 23oC-27oC dan terletak di desa Nglanggeran kecamatan Patuk kabupaten Gunungkidul Yogyakarta.
Pada hari Selasa 24 Januari 2017, saya bersama sahabat Kompasianer Jogja, Blogger, dan Dinas Pariwisata Jogja berkesempatan mengunjungi kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran Gunungkidul untuk mengeksplorasi geosite yang ada disana. Dengan menggunakan bus ,berangkat dari kantor Dinas Pariwisata Jogja yang terletak di jalan Malioboro pada pukul 12.15 WIB dan hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di Nglanggeran Gunungkidul. Tepat pukul 13.15 WIB kami tiba dilokasi. Setelah sholat dan istirahat sejenak kami disuguhi hidangan makan siang tradisional yaitu ayam ingkung, tahu tempe, sayur krecek, dan sayur trancam. Semuanya lezat, rasa khas alami.
Dokumentasi pribadi
Sedikit mengenal tentang desa wisata Nglanggeran, Bapak Budi Martono selaku GM Geopark dan Gunung Sewu, memaparkan bahwa geosite Nglanggeran adalah salah satu dari 33 geosite di Jawa. 13 geosite terletak di Gunungkidul dan yang lainnya di Wonogiri dan Pacitan. Geopark Gunung Sewu dikelola oleh masyarakat setempat yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata. Menurut keterangan dari Bapak Budi Martono, visi pembangunan DIY yang akan dicapai selama dua puluh tahun adalah DIY pada tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya dan daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera.Desa Wisata Nglanggeran memperoleh Penghargaan CBT ASEAN di Singapore
Tepatnya pada tanggal 20 Januari 2017 Asean Community Bases Tourism (CBT) Award diberikan pada desa wisata Nglanggeran bersama dua desa wisata lain di Indonesia yaitu desa wisata Dieng Kulon Banjar Negara dan desa wisata Panglipuran di Bali. Yang menjadi penilaian adalah kepemilikian pengelolaan oleh masyarakat, memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan sosial, meningkatkan pelestarian lingkungan, mendorong partisipasi interaktif antara warga dan wisatawan. Acara kami selanjutnya adalah menuju Kampung Pitu.
Kampung Pitu , Kampung yang hanya boleh dihuni tujuh kepala keluarga (KK)
Rombongan kami diantar dengan angkutan lokal yang disediakan oleh warga setempat yaitu mobil bak terbuka/truk. Berangkat dari Gunung Api Purba sampai ke Kampung Pitu memerlukan waktu 30-40 menit. Sepanjang perjalanan, mata kami dimanjakan oleh pemandangan hijau yang indah. Tidak ada kesan gersang di lokasi ini. Terkadang kami meminta kendaraan untuk berhenti sejenak, sekedar mengabadikan gambar keindahan alam. Untuk wisatawan domestik, biaya sewa mobil dari kawasan pintu masuk Gunung Api Purba ke Kampung Pitu adalah Rp. 250.000,00. Satu mobil bisa muat tujuh orang. Wisata kesini terasa lebih asyik jika rombongan daripada sendiri.
Tiba di Kampung Pitu, kami disambut hangat oleh keluarga Mbah Rejo dan Mbah Yatno, mereka adalah penduduk Kampung Pitu yang masih keturunan Eyang Iro Kromo. Kemudian Mbah Yatno mulai menceritakan tentang sejarah Kampung Pitu ini.
Sebelum dinamakan Kampung Pitu, desa ini bernama desa Tlogo. Tlogo artinya adalah sumber air. Di desa ini terdapat sumber air yang tidak pernah kering. Sumber air itu digunakan penduduk setempat sebagai sumber kehidupan dan untuk mengairi sawah. Jaman dahulu kala, tlogo ini untuk memandikan Kuda Sembrani. Kuda ini diyakini sangat sakti. Ketika kuda itu menginjakkan kaki di batu besar di samping tlogo itu, maka jejak kakinya akan membekas di batu.
Masih menurut cerita dari Pak Yatno, bahwa ratusan tahun yang lalu ada abdi keraton yang meletakkan keris pusaka di pohon kinah gadung wulung, di Kampung Pitu ini. Abdi keraton ini berkata bahwa barang siapa yang bisa merawat keris pusaka itu akan diberi imbalan berupa tanah untuk anak dan keturunannya. Dan kala itu Mbah Iro Kromo dan Mbah Tir yang berhasil merawat pusaka itu. Maka sampai sekarang yang menghuni kampung itu adalah anak keturunan dari Mbah Iro kromo dan mbah Tir. Dan kepercayaan di kampung ini, hanya boleh dihuni oleh tujuh kepala keluarga saja. Jika lebih, maka akan ada yang meninggal, atau dengan alasan tertentu menjadi tidak kerasan, dan akhirnya pergi meninggalkan kampung itu.
Di Kampung Pitu juga masih terjaga tradisi rasulan yang dilakukan 2 kali setahun. Ada juga tradisi tingalan atau ulang tahun dimana dalam acara syukuran tingalan ini bukan hanya ulang tahun manusia yang diperingati, tetapi juga syukuran kelahiran hewan ternak seperti sapi atau kerbau. Tradisi yang lain adalah bersih makam. Untuk kehidupan disana, sudah sama dengan masyarakat pada umumnya. Di kampung Pitu juga memiliki pantangan , Desa Nglanggeran dan sekitarnya tidak boleh mengadakan pertunjukan wayang yang mengisahkan tentang Ongko Wijoyo. Pertunjukan wayang juga tidak boleh membelakangi Gunung di Nglanggeran ini.