Sore itu hujan gerimis. Saya duduk di teras kedai kopi kecil yang saya kelola. Wangi kopi menguar bercampur dengan aroma tanah basah. Layar laptop masih terbuka, tapi pikiran saya sudah melayang entah ke mana. Tiba-tiba, suara motor terdengar di halaman depan.
"Bro, lama banget nggak mampir. Lagi sibuk banget, ya?" tanya Bayu sambil melepaskan helmnya.
"Nggak sibuk-sibuk amat, Bay. Cuma banyak ngatur ini-itu," jawab saya sambil menyambutnya.
Dia tersenyum kecil, lalu mengambil tempat di kursi seberang. "Lagi sibuk ngurus kost juga?"
"Ya, begitulah. Bisnis kecil-kecilan begini nggak pernah berhenti, Bay. Banyak yang mesti dipikirin," jawab saya santai.
Setelah memesan cappuccino, dia menatap saya dengan raut wajah serius. "Aku tuh lagi mikir, Bro. Mau resign tahun depan, terus buka usaha sendiri."
Saya menatapnya sejenak, mencoba membaca pikirannya. "Kamu yakin? Atau ini cuma karena lagi jenuh kerja kantoran?"
Memulai dari Nol
Bayu adalah teman lama yang sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan besar. Gajinya lumayan, jabatannya juga cukup strategis. Tapi saya bisa memahami kegelisahannya. Lima tahun lalu, saya juga berada di posisi yang sama.
"Ceritain dulu, Bay. Apa yang bikin kamu kepikiran resign?" saya memulai.
"Kerja kantoran itu... ya gitu-gitu aja, Bro. Gajinya oke, tapi ngerasa nggak punya waktu buat diri sendiri. Belum lagi kalau ada tekanan dari atasan," keluhnya sambil memainkan sendok di cangkir kopinya.