Lihat ke Halaman Asli

yassin krisnanegara

Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Peran Orang Tua: Masalah Sama, Penyelesaian Berbeda

Diperbarui: 21 September 2024   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Orang tua hadir. Itu kalimat yang terdengar klise, ya? Tapi, pertanyaannya, hadir yang seperti apa? Sekadar fisik duduk di meja makan atau benar-benar hadir dalam arti emosional? Nah, di sinilah sering kali letak masalahnya. Anak merasa orang tua tidak hadir, sementara orang tua merasa sudah maksimal memberikan semuanya. Konflik pun tak terelakkan. Saya sendiri pernah merasakannya. Masalahnya mungkin sama: komunikasi yang buntu, jarak yang makin terasa. Namun, percayalah, penyelesaiannya pasti berbeda untuk setiap keluarga.

Dalam pengalaman pribadi, ketika terjebak dalam konflik dengan anak, seringkali saya merasa menjadi orang tua yang gagal. Tapi, setelah mencoba memahami lebih dalam, ternyata bukan soal benar atau salah, melainkan soal cara kita hadir. Dan dari situlah saya mulai menemukan beberapa hal yang ternyata mampu mendekatkan hubungan orang tua dengan anak. 

Ini bukan soal tips ajaib yang langsung manjur, tapi lebih ke perjalanan kecil yang penuh dengan percobaan, kegagalan, dan tentunya harapan.

1. Mendengarkan, bukan sekedar mendengar

Berapa kali kita berpura-pura mendengarkan anak, tapi pikiran kita melayang ke tempat lain? Mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan atau urusan sehari-hari. Ini seringkali jadi sumber masalah. Anak merasa tidak dihargai, orang tua merasa sudah melakukan yang terbaik. Pernah dengar cerita klasik: anak berbicara tapi orang tua hanya mengangguk tanpa benar-benar memahami? Akhirnya, jarak emosional semakin lebar.

Solusinya sederhana, tapi sulit dilakukan: mendengarkan dengan sepenuh hati. Mendengarkan bukan sekadar membiarkan suara mereka masuk ke telinga kita, tapi memberikan perhatian penuh. Saya ingat suatu kali anak saya marah karena hal sepele menurut saya, tetapi ternyata, ketika saya benar-benar mendengarkannya, masalahnya lebih dalam. Mereka butuh didengar tanpa disela, tanpa dihakimi. Kadang, orang tua perlu melepaskan kebiasaan untuk selalu menjadi 'penyelesai masalah' dan cukup mendengar apa yang ingin mereka sampaikan.

2. Waktu kualitas, bukan kuantitas

Orang tua sering beranggapan bahwa yang penting adalah menyediakan banyak waktu bersama anak. Padahal, yang sebenarnya lebih berharga adalah kualitas dari waktu tersebut. Mungkin kamu pernah berpikir, "Sudah tiap hari ketemu, kok, tapi rasanya tetap jauh." Itu mungkin karena waktu yang dihabiskan bersama anak bukanlah waktu yang berkualitas.

Pengalaman saya mengajarkan bahwa waktu berkualitas bukan soal berapa jam yang dihabiskan bersama, melainkan apa yang kita lakukan selama waktu itu. Bukan berarti kita harus merancang aktivitas yang rumit, cukup hal-hal sederhana seperti makan malam bersama tanpa gangguan ponsel, menonton film bersama, atau sekadar berbicara dari hati ke hati. Ini tentang momen-momen di mana kita benar-benar terhubung dengan mereka.

3. Belajar menyesuaikan diri dengan generasi mereka


Ini klise, tapi memang benar. Perbedaan generasi adalah sumber konflik yang tak bisa dihindari. Orang tua sering merasa anak-anak terlalu bergantung pada teknologi, terlalu cepat marah, atau kurang sopan. Sementara anak-anak merasa orang tua terlalu kuno, tidak memahami dunia mereka. Saya juga pernah terjebak dalam perang teknologi ini. Apalagi ketika anak lebih memilih berbicara lewat layar daripada berbicara langsung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline