Lihat ke Halaman Asli

yassin krisnanegara

Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Janji Politik dan Realitas yang Tak Pernah Selesai

Diperbarui: 8 September 2024   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita hidup di tengah ruang yang diisi oleh janji-janji. Di sekeliling kita, janji telah menjadi bagian dari tarikan nafas sehari-hari, terlebih lagi dalam ranah politik. Ketika suara pemimpin terdengar di panggung kampanye, janji-janji itu mengalir deras, mengisi setiap celah di kepala kita dengan harapan baru---bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, janji politik akan menjadi kenyataan. 

Namun, berapa banyak dari kita yang telah hidup cukup lama untuk menyadari bahwa janji politik, seperti awan di langit, mudah terbentuk, melayang indah, dan akhirnya menghilang begitu saja tanpa jejak?

Dalam sejarahnya, janji politik selalu merupakan bentuk dari harapan yang dirangkum dalam kata-kata. Seorang pemimpin berjanji untuk membawa perubahan, untuk memperbaiki yang salah, untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Ia berbicara kepada kerumunan, menyentuh hati mereka, membangkitkan imajinasi tentang masa depan yang sejahtera, adil, dan penuh kesetaraan. 

Dalam momen tersebut, janji itu tampak lebih nyata daripada kenyataan yang sedang kita jalani. Harapan yang dikemas dalam retorika, seolah-olah menjadi jawaban yang kita tunggu-tunggu.

Namun, janji politik tidak pernah datang tanpa cacat. Ada kesenjangan yang jelas antara apa yang diucapkan dan apa yang kemudian diwujudkan. Setiap janji yang diutarakan adalah upaya untuk menjual mimpi, dan mimpi, sebagaimana yang kita tahu, adalah sesuatu yang rapuh.

 Politik adalah medan di mana mimpi-mimpi itu sering kali beradu dengan kekuasaan dan kepentingan. Di situlah masalahnya muncul---janji politik tidak sekadar soal apa yang diucapkan, tetapi soal seberapa jauh janji itu dapat bertahan dalam pusaran realitas kekuasaan.

Dalam sebuah negara demokratis, janji politik adalah fondasi dari keterlibatan rakyat dalam sistem pemerintahan. Setiap pemilu, masyarakat diundang untuk menaruh kepercayaan pada mereka yang berani berjanji, memilih mereka yang dianggap mampu mewujudkan janji tersebut. 

Tetapi, politik adalah permainan rumit yang tidak hanya melibatkan aktor-aktor yang terlihat. Di balik janji politik, ada kepentingan-kepentingan tersembunyi yang sering kali lebih kuat daripada niat baik yang diutarakan.

Apa yang membuat janji politik sering kali gagal? Jawabannya mungkin tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sebuah janji politik tidak sekadar soal kemauan untuk berubah, tetapi soal kemampuan untuk memahami kompleksitas dunia yang dihadapi. 

Seorang pemimpin mungkin berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi untuk mewujudkan itu, ia harus berhadapan dengan birokrasi yang berlapis-lapis, dengan sistem yang sudah berakar, dan dengan perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh status quo.

Pada akhirnya, janji politik, sebagaimana banyak hal dalam hidup ini, selalu tunduk pada kenyataan. Sebagai manusia, kita terikat pada batas-batas yang ada---batas sumber daya, batas kemampuan, dan batas kekuasaan. Seorang pemimpin politik mungkin memiliki niat terbaik, tetapi niat itu sering kali terhalang oleh dinding-dinding tak terlihat yang dibangun oleh sistem yang ada. Tidak jarang, janji-janji yang tampak begitu mulia pada awalnya justru akhirnya tenggelam dalam kompromi dan negosiasi yang tak berkesudahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline