Kaum menengah di Indonesia selalu menjadi topik menarik untuk dibahas. Banyak yang mengatakan bahwa mereka adalah penopang perekonomian, kelompok yang paling dinamis, dan yang paling terdampak ketika krisis datang.
Tapi benarkah mereka sekuat yang sering digembar-gemborkan? Atau mereka hanya sekadar bertahan hidup di tengah perubahan ekonomi yang semakin tidak ramah?
Ketika berbicara tentang kaum menengah, sering kali kita membayangkan orang-orang yang hidup dengan nyaman, memiliki rumah, mobil, dan penghasilan yang cukup untuk menabung dan berinvestasi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa mereka yang masuk kategori kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp2,8 juta hingga Rp15 juta per bulan.
Mereka ini dianggap sebagai motor penggerak ekonomi karena daya belinya yang cukup besar.
Namun, di balik definisi itu, ada kenyataan lain yang sering kali luput dari perhatian. Kaum menengah Indonesia, meskipun terlihat mapan, sebenarnya hidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi.
Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap fluktuasi ekonomi, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
"Katanya kelas menengah itu mapan, tapi kok rasanya seperti berjalan di atas tali? Sedikit saja goyangan, bisa jatuh," keluh seorang pekerja kantoran yang merasa penghasilannya selalu habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa bisa menabung.
Salah satu masalah utama yang dihadapi kaum menengah adalah pendapatan yang semakin terkikis oleh inflasi.
Setiap tahun, harga barang dan jasa terus naik, sementara kenaikan gaji tidak selalu sebanding. Ini menjadi masalah serius bagi mereka yang hidup di kota-kota besar, yang mana biaya hidup semakin tinggi.