Lihat ke Halaman Asli

Mari Saling Menyayangi sebelum Terlambat

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu ada rasa sedih saat berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Seperti yang saya alami pagi kemarin, saya berpisah dengan adik laki-laki saya di stasiun Jogja. Saya berangkat pulang menuju Surabaya. Air mata menetes saat kereta mulai bergerak. Saya lambaikan tangan pada adik yang masih menunggu, dan cukup sulit menghentikan air mata ini. Kami bertemu di Jogja selama 3 hari karena kebetulan sama-sama ada tugas pekerjaan di sana.

Adik saya tinggal di Padang, baru akan pulang esok harinya. Karena tinggal jauh kami jadi jarang bertemu, mungkin hanya 1-2 kali dalam setahun.

Rasa mencintai terhadap keluarga sudah ditanamkan orang tua kami sejak kecil.  Ayah kami akan sedih dan marah  jika kami 7 bersaudara sampai bertengkar waktu kecil dulu walau hanya sekedar rebutan mainan atau hal sepele lainnya. Beliau akan manasihati kami semua dalam hitungan waktu yang lama, tanpa ada seorang pun dari kami yang berani membantah atau berdiri pergi, sampai kami bosan mendengarnya saat itu. Namun sekarang kami merindukan saat-saat indah itu. Dengan didikan seperti itu kami tumbuh saling menyayangi, walau ada benturan- benturan kecil yang justru membuat kami bertambah erat.

Melihat adik laki-laki satu-satunya yang ada sekarang ini seakan saya melihat sosok ayah yang sudah tiada 6 tahun yang lalu. Sosok yang selalu melindungi, siap membantu, penyayang, memiliki hati yang lembut, dan teliti dalam urusan kebersihan. Dan saya sering merindukan suara indahnya saat mengimami kami shalat berjamaah.

Diantara 7 bersaudara kami hanya ada 2 orang  laki-laki, namun yang satu sudah pergi. Adik laki-laki terkecil meninggal 7 tahun yang lalu karena sakit di usia 34 tahun. Melihat jenazahnya pun saya tidak sempat. Setelah selesai dimakamkan saya baru sampai di Padang malam harinya. Rasa sedih yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Setiap ke Jogja bila melewati auditorium kampus UGM saya selalu teringat adik saya itu, karena sewaktu dia wisuda S2 tahun 2002 hanya saya sendiri yang mendampinginya. Kami naik becak berdua menuju kampus dari sebuah hotel murah dengan kelas termurah. Masa-masa itu kehidupan keluarga kami masih penuh perjuangan. Seandainya dia wisuda sekarang maka keluarga besar akan bisa hadir dan menginap di hotel yang layak. Tapi ternyata, harta tidak berarti apa-apa saat orang yang kita cintai sudah tiada.

Saat ini kami tinggal 6 bersaudara dengan diberi amanah dan kenikmatan merawat ibu yang berusia 75 tahun. Hidup tentu tidak selamanya mulus,  berbagai persoalan hidup kadang membuat kami harus bersikap bijak demi kerukunan keluarga. Kami semua ingin mewujudkan keinginan ayah tercinta yang mengharapkan kami semua anak cucu keturunannya hidup rukun dan saling menyayangi.

Hal yang sama selalu saya tekankan kepada kedua anak saya agar mereka saling menyayangi. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari karena biasanya kita akan menghargai atau menyayangi sesuatu setelah  sesuatu itu hilang atau tidak ada lagi.



Semoga Bermanfaat :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline