Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Matahari bagi Orang Lain

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak Presiden Joko Widodo memilih Ibu Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan tanggal 26 Oktober lalu, banyak sekali timbul kontroversi terhadap sosok wanita ini. Ada yang mencibirnya dengan alasan tidak lulus sekolah menengah, merokok, bertato, dsbnya.  Seakan-akan mereka merasa dirinya lebih hebat, lebih baik, lebih suci, dan lebih mulia di mata Tuhan.

Gebrakan demi gebrakan yang dilakukan Ibu Susi pada minggu pertama menjabat sebagai menteri membuka mata sebagian orang yang semula meragukannya. Melarang menangkap ikan, udang dan kepiting yang sedang bertelur, melarang menangkap ikan hiu, mempertanyakan pendapatan negara yang hanya 300 milyar dari tangkap ikan, tidak mengeluarkan izin penangkapan ikan 2 bulan ke depan, merupakan representasi kecintaan kepada laut dan bangsanya.

Berbagai tulisan kisah hidupnya muncul di medsos termasuk foto menggendong sang ibu tercinta di punggungnya.  Sungguh terharu melihat foto itu, karena saya pun rasanya tidak mampu berbakti seperti itu.  Kisah lain pengorbanannya membantu masyarakat Pangandaran yang terancam tsunami dengan menampung mereka semua di rumahnya lengkap dengan segala fasilitas, sebelum bantuan pemerintah datang. Bagi masyarakat Pangandaran saat itu satu-satunya tempat yang pasti akan menerima mereka hanyalah rumah Bu Susi. Demikian juga upaya nekatnya membantu rakyat Aceh yang dihantam tsunami melalui penerbangan pesawat Susi Air untuk mengirimkan logistik, sebelum datang bantuan pemerintah.

Dalam artikel ini yang ditulis oleh penulisnya tahun 2010, lebih membuka mata kita siapa dan bagaimana sebenarnya sosok wanita rendah hati ini.  Cita-cita beliau sungguh sederhana, setelah pensiun dari perusahaannya dia ingin mengabdikan dirinya secara penuh kepada Tuhan, tinggal di masjid yang dibangunnya sendiri, dan membantu masyarakat sekelilingnya.  Seperti yang dilakukan neneknya dahulu.  Dia menjadi matahari bagi orang-orang di sekitarnya, karena baginya kebahagiaan itu adalah ketika dia bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain.

Hidayah Allah bisa datang pada siapa saja dan kapan saja, sehingga kita dilarang untuk mencela orang lain karena bisa jadi orang tersebut lebih baik dari pada kita. Dalam Al Quran Surat Al - Hujurat : 11, Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.

Terbersit rasa iri kepada Ibu Susi karena hidupnya begitu bermakna. Kalaupun dia punya kekurangan atau kesalahan toh dia juga manusia biasa.

Salam, semoga bermanfaat.

Terima kasih sudah membacanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline