Pabrik Gula Tjoekir merupakan salah satu Pabrik Gula (PG) terbaik saat ini dari 11 PG milik PTPN X, BUMN Perkebunan, yang terletak di wilayah administratif Desa Cukir, Kec. Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. PG ini mempunyai kapasitas menggiling tebu setiap hari sejumlah 4200 TCD (Ton Cane per Day).
[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Pabrik Gula Tjoekir (http://agusuprapto.blogspot.com)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="336" caption="Sumber : http://www.albert-gieseler.de/"] [/caption] Di seberang jalan, di utara PG Tjoekir ini terdapat komplek Pondok Pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, yang merupakan ayah dari KH. Wahid Hasyim dan kakek dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di sini juga almarhum Presiden RI yang keempat, Gus Dur, dimakamkan. Tempat ini tidak pernah sepi dari peziarah. Pondok ini juga memiliki sekolah madrasah dan umum mulai dasar sampai perguruan tinggi dengan jumlah santri ribuan orang.
[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Sumber : http://ariz-wahyou.blogspot.com/"] [/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber : http://celotehoe.blogspot.com/"] [/caption]
Kedekatan lokasi antara PG Tjoekir dan Pondok Pesantren Tebu Ireng tidak terlepas dari sejarah pendirian PG ini oleh Belanda pada tahun 1884. Sedangkan cikal bakal Pondok Pesantren Tebu Ireng berdiri tahun 1899. Keduanya berlokasi di tepi jalan raya besar Jombang-Malang dan Jombang-Kediri.
Masyamsul Huda, tokoh muda Nahdhlatul Ulama (NU), yang sekarang menjabat Wakil Sekretaris NU DKI Jakarta menulis buku novel sejarah “GURU SEJATI HASYIM ASY’ARI”. Diterbitkan oleh Pustaka Inspira, 270 halaman, cetakan pertama Maret 2014, ISBN 978-602-97066-6-6. Buku ini saya beli saat mengantar anak-anak saya ke Gramedia Surabaya beberapa hari yang lalu.
[caption id="attachment_362906" align="aligncenter" width="288" caption="Sumber : dokumen pribadi"]
[/caption]
[caption id="attachment_362920" align="aligncenter" width="277" caption="Sumber : dokumen pribadi"]
[/caption] Penulis buku ini merupakan cucu buyut dari Kyai Sakiban, dalang terkenal dan tokoh masyarakat masa itu di daerah Cukir. Kyai Sakiban berhasil “menemukan” Hasyim Asy’ari, putra dari pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah di Desa Keras - Kediri, yang diharapkannya dapat membawa perbaikan akhlak masyarakat sekitar PG saat itu. Membaca buku ini kita dibawa pada sejarah gelap yang terjadi pada saat pendirian PG Tjoekir yang mungkin belum banyak yang mengetahuinya.
Era kapitalisme Belanda di Indonesia dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula tahun 1870 oleh pemerintah Belanda yang mengijinkan pihak swasta (Eropa) membuka usaha perkebunan di Hindia Belanda.
Untuk melanggengkan keberadaan PG Tjoekir yang baru didirikannya ini pihak Belanda melakukan berbagai cara yang memaksa masyarakat menjadi tergantung kepada mereka. Dari mengambil lahan pertanian milik rakyat untuk lokasi pabrik dan perkebunan tebu tanpa memberi ganti rugi, menjadikan mereka buruh pabrik, menghidupkan premanisme untuk menjadi penjaga keamanan/centeng dan mata-mata, lokalisasi, judi, perdukunan, tempat hiburan malam (tayub, wayang, prostitusi), sampai praktek devide et impera yang memecah belah sesama rakyat kecil yang terganggu karena pendirian pabrik. Premanisme ini melahirkan padepokan Kebo Ireng yang dipimpin oleh Joko Tulus alias Kebo Kicak yang sangat ditakuti oleh masyarakat. Lokalisasi membuat banyak gadis-gadis pendatang untuk dipekerjakan di sana.
Masyarakat yang pada awalnya adalah petani yang memiliki lahan-lahan pertanian kemudian terpaksa menjadi buruh pabrik. Setiap malam buruh pabrik asyik di lokalisasi, hiburan malam dan perjudian. Uang mereka habis, mereka terpaksa berhutang dan secara tidak langsung mereka harus menjadi buruh pabrik lagi untuk mendapatkan uang dan bersenang-senang kembali. Akhlak dan moral masyarakat saat itu betul-betul dirusak. Praktek perdukunan juga berkembang pesat yang digunakan bila ada orang yang sakit, mengawali masa tanam tebu, dan mengusir makhlus halus yang mereka yakini ada di dalam pabrik.
Pondok Pesantren yang ada pada masa itu adalah Pesantren Sumoyono yang diasuh Kyai Sumoyono. Salah satu murid terbaiknya bernama Surontanu. Kebo Kicak dan Wiro, pemimpin padepokan Kebo Ireng, merupakan kakak tingkat Surontanu di pesantren. Namun kedua orang itu lebih memilih menjadi tangan kanan Belanda. Surontanu yang berwatak keras dan tidak mau mendengarkan nasihat Kyai Sakiban akhirnya memilih cara kekerasan dengan menyerang pusat-pusat kegiatan Kebo Ireng. Maka terjadilah pertarungan antara dua tokoh itu beserta anak buahnya masing-masing. Alhasil, Belanda akhirnya memberangus pesantren Sumoyono dan kehidupan kemaksiatan makin berkembang.
Kondisi yang sangat jauh dari nilai-nilai agama ini berlangsung bertahun-tahun. Kyai Sakiban dan beberapa rekannya merasa harus berbuat sesuatu dengan meminta bantuan Kyai muda, Hasyim Asy’ari, untuk memperbaiki akhlak masyarakat di dusun Cukir. Satu-satunya cara adalah dengan mendirikan pondok pesantren di sekitar lokasi pabrik. Tapi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
KH Hasyim Asy’ari mampu membaca permainan politik tingkat tinggi Belanda dalam memelihara premanisme demi melestarikan keberadaan PG. Karena itu, beliau pada awalnya tidak terang-terangan mendirikan pesantren melainkan disamarkan sebagai padepokan silat.
Berbagai tantangan dan ujian dihadapi beliau dengan keteguhan hati dan dengan cara-cara yang penuh kelembutan dan kesantunan seorang guru sejati. Pondok Pesantren ini pun pernah habis diserang dan dibakar Belanda, namun dalam waktu 20 hari berdatangan seribu orang yang membawa bahan-bahan bangunan, uang, makanan dan tenaga dari pondok pesantren se Jawa dan Madura. Kyai muda yang kharismatik ini pelan-pelan semakin dikenal dan dihormati masyarakat. Beliau juga ahli dalam bercocok tanam yang dibuktikan dari hasil panen yang selalu melimpah, sehingga mampu memberi makan santri 3x sehari secara gratis. Setiap pagi beliau berpesan kepada para santrinya : “Jangan lupa, setiap hendak mengawali bercocok tanam tubuh kita harus menghadap ke kiblat, dan ketika bibit mulai ditanam kita harus baca shalawat sebanyak 3 kali “.
Baik masyarakat dusun Cukir maupun pondok pesantren KH Hasyim Asy’ari tidak pernah menentang pendirian PG, kecuali kemaksiatan yang ditimbulkannya. Pada tahun 1906, tahun ketujuh perjuangannya, beliau meresmikan nama Tebu Ireng untuk pondok pesantrennya. Tebu Ireng berarti tebu yang berwarna hitam, yang merupakan jenis tebu paling baik saat itu. KH Hasyim Asy’ari sukses membangun peradaban baru yang Islami di kawasan Jombang Selatan ini. Pada tahun 1920 jumlah santri mencapai seribu orang. Islam dan Pondok Pesantren Tebu Ireng ini merubah sejarah gelap pendirian PG Tjoekir menjadi Rahmatan Lil ‘Alamin dan telah melahirkan ulama-ulama besar negeri ini.
Terima kasih sudah membacanya, semoga bermanfaat.
Salam Kompasianer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H