Dieng merupakan suatu daerah dataran tinggi terletak di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Ketinggian datarannya rata-rata mencapai 2.000 m diatas permukaan laut. Dataran ini, merupakan salah satu Kawasan vulkanik aktif yang ada di Jawa Tengah (Wulandari & Wuryani, 2020). Kondisi alam yang berbukit-bukit menjadikan dataran ini memiliki banyak sumber mata air yang beragam, terdapat sumber mata air yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sumber air panas, dan sumber air asam (Arif & Fathurrahman, 2013).
Tradisi unik yang telah turun temurun dari nenek moyong masyarakat di Dieng yaitu tradisi Ruwatan Rambut Gimbal. Ruwatan merupakan suatu ritual yang sakral memiliki tujuan untuk membebaskan atau membersihkan seseorang dari suatu hal yang dipandang buruk atau jahat. Dalam ritual ini terdapat suatu harapan dan keinginan, bahwa dari ritual ini dapat menghindarkan seseorang dari malapetaka yang akan menimpa kepada dirinya.
Pelaksanaan ritual ini merupakan upacara pemotongan rambut gimbal pada anak-anak yang berambut gimbal. Tidak semua anak di dataran tinggi Dieng berambut gimbal. Anak berambut gimbal memiliki suatu karakter dan perilaku yang berbeda dari kebiasaan pada usianya. Perilaku-perilaku itu, seperti: energik, nakal, berjiwa heroic, dan suka mengatur, namun terdapat pula anak berambut gimbal yang berperilaku pendiam, pemalu, dan susah untuk bergaul pada dunia luar.
Adanya ritual tradisi ini, awalnya merupakan suatu kepercayaan yang dimiliki oleh Masyarakat untuk mengingat pendiri Kabupaten Wonosobo yaitu Kyai Kolodete, Kyai Walik, dan Kyai Karim. Masyarakat Wonosobo mempercayai bahwa anak yang berambut gimbal merupakan suatu kebanggaan keluarganya, karena anak tersebut dianggap sebagai anak keturunan dari Kyai Kolodete. Kyai Kolodete ini merupakan kyai yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Beliau juga menjadi seorang Kyai pengayom dan tentunya disegani oleh Masyarakat sekitar.
Ritual ini juga bertujuan untuk menghilangkan rambut gimbal, agar anak tersebut dapat tunbuh dengan rambut yang baik. Ritual ini tentu tidak sembarang anak yang dicukur rambut gimbalnya. Rambut yang dicukur dalam upacara ruwatan ini adalah anak yang memang benar-benar meminta kepada orang tuanya untuk dipotong rambut gimbalnya. Jadi itu merupakan suatu keinginannya sendiri. Jika tidak dengan keinginannya sendiri, rambut yang yang tumbuh akan tetap gimbal. Tidak hanya itu, kebanyakan anak yang meminta gimbalnya ini dipotong, ia akan meminta permintaan yang harus dipenuhi. Apabila keinginan ini tidak dituruti, anak tersebut akan sakit-sakitan dan bahkan berujung pada musibah (Nisa, 2020).
Tata cara ritual ini dilakukan oleh tokoh spiritual yang ada disana. Sebelumnya anak tersebut dimandikan terlebih dahulu dengan menggunakan air keramat yang ada dikawasan Dieng, seperti di Goa Sumur. Untuk prosesi upacara ini, dilakukan dengan melengkapi sesajen yang beru[a tumpeng putih yang dihiasi dengan buah-buah yang ditancapkan, jajanan pasar, 15 jenis minuman, dan permintaan anak tersebut. Kemudian terdapat doa-doa yang dipanjatkan. Lalu tokoh spiritual tersebut mengasapi kepala anak dengan kemenyan. Setelah itu, baru memotong rambut gimbal. Pemotongan ini terdapat caranya, yaitu dengan memasukkan cincin yang dianggap magis pada tiap helai rambut gimbal tersebut, kemudian mencukurnya satu persatu. Setelah rambut tercukur, rambut tersebut dibungkung pada kain putih dan kemudian di alirkan di Telaga Warna Dieng atau ke Sungai.
Tujuan diadakannya upacara ritual ini yaitu untuk mencapai keselamatan, kebahagiaan, dan ketentraman bagi para Masyarakat Dieng tersebut. Dengan dilaksanakannya ritual ini, Masyarakat akan merasa lebih tenang, ayem Tentrem. Sebaliknya, jika Masyarakat tidak melaksanakan ritual ini, Masyarakat akan merasa takut akan adanya musibah atau gangguan roh halus yang jahat.
Tradisi ruwatan rambut gimbal di Dieng Wonosobo mencerminkan nilai-nilai psikologi indigenous dengan mengakar pada keterhubungan dengan alam, spiritualitas, dan kesakralan. Melibatkan partisipasi komunitas yang luas, ritual ini menekankan pentingnya solidaritas dan dukungan antaranggota komunitas, sambil merayakan dan melestarikan warisan budaya. Dalam konteks psikologi indigenous, tradisi ini memberikan perasaan identitas dan kekuatan spiritual kepada individu dan komunitas, serta menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam dan meneruskan tradisi sebagai bagian dari pemberdayaan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, M., & Fathurrahman, A. (2013). Makna Simbolik Ruwatan Cukur Rambut Gembel di Desa Dieng Kejajar Wonosobo. Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(02), 44--48.
Nisa, A. (2020). Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Indonesia (Studi Terhadap Tradisi Ruwatan Rambut Gimbal di Desa Batur, Dieng, Wonosobo). JURNAL LENTERA: Kajian Keagamaan ..., Vol. 19 No(2), 1--23. http://ejournal.staimnglawak.ac.id/index.php/lentera/article/view/211%0Ahttp://ejournal.staimnglawak.ac.id/index.php/lentera/article/download/211/117