Tentu kita sudah mafhum, anak-anak dengan kepolosannya, akan sering bertanya tentang banyak hal, baik yang berhubungan dengan masalah faktual hingga berupa narasi fiktif. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, bagi mereka, merupakan ekspresi dari rasa ingin tahu dan menyibak keraguannya tentang dunia yang baru dikenalnya, sehingga mereka terdorong untuk mengajukan pertanyaan.
Hal ini merupakan kebutuhan psikis alamiah yang dinamakan dengan istilah "cinta meneliti" dan merupakan salah satu essensi kecerdasan anak. Dimulai ketika mereka menuju pada panguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian, yaitu pada masa tatih (di atas 18 bulan). Pada masa ini anak-anak mulai mengenal bahasa dan tertarik untuk mempelajarinya.
Dalam tahapan tersebut, orang tua sangat berperan penting dalam menumbuh-kembangkan budaya literat anak. Pun, perhatian, kasih sayang dan teladan yang diberikan secara langsung oleh orang tua dimasa-masa golden age tentunya akan membekas dan diingat anak sepanjang hayatnya.
Berangkat dari asumsi bahwa "ayah bunda adalah guru pertama bagi anak-anak", merancang program literasi keluarga menjadi ranah strategi yang paling efektif untuk meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pengembangan literasi anak. Pun, penciptaan lingkungan literasi keluarga termasuk ketersediaan bahan bacaan di rumah akan memungkinkan anak lebih berkembang prestasi akademiknya.
Sebagai patron literasi keluarga, Ayah dan ibu dalam hal ini tidak sekadar memerintah anak-anaknya untuk berliterasi, tetapi wajib memberi contoh, misalnya dengan mendongeng dalam waktu-waktu tertentu sehingga dapat memantik kepenasaranan anak-anak untuk membaca lengkap pada bukunya. Apalagi jika dongeng tersebut dibacakan pada saat anak-anak sebelum tidur.
Mendongeng pada fase alpha teta (antara sadar dan sebelum terlelap tidur) dapat menyimpan pesan dan hikmah dari cerita, terbenam dalam ingatan hingga mereka dewasa, sehingga petuah-petuah dalam cerita akan ia ingat sepanjang hayat. Pesan-pesan tersebut diharapkan dapat menjadi perilaku baik dalam kehidupan nyata mereka.
Permasalahan utama yang menyebabkan orang tua kurang terlibat dalam pendidikan literasi dewasa ini adalah, orangt tua belum menyadari bahwa Pendidikan literasi dirumah memiliki hubungan dengan prestasi di sekolah. Begitupula halnya dengan cerita yang dibacakan oleh orangtua dirumah, memiliki keterkaitan secara tidak langsung dengan nilai-nilai pada diri anak.
Dilain sisi, gempuran teknologi smartphone berbasis sistem android yang begitu deras nampaknya mengalihkan budaya masyarakat ke pasca literasi. Padahal Indonesia belum masuk budaya literasi sepenuhnya. Namun, sepertinya meloncati dari budaya praliterasi langsung ke pascaliterasi seperti yang terjadi saat ini.
Ketergantungan anak-anak pada gawai yang nampaknya tidak terelakkan saat ini menunjukkan bukti bahwa anak-anak sekarang (yang belum memiliki budaya literasi) "telah meloncat" ke era budaya digital. Era yang kelihatannya modern dengan lebih banyak melihat dan mendengar, tetapi tanpa budaya membaca sebenarnya mereka tetap tidak beranjak modern.
Unesco telah melakukan survei tingkat minat baca anak dengan melihat jumlah bacaan buku referensi (bukan buku paket sekolah) di seluruh negara di dunia. Faktanya, berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat membaca anak Indonesia ternyata masih sangat rendah. Anak-anak Indonesia hanya mambaca 27 halaman buku per-tahun, dengan kata lain, anak-anak usia sekolah di Indonesia hanya mampu membaca satu halaman buku selama 15 hari.
Lemahnya budaya literasi generasi jaman now, Taufik Ismail menganalogikan sebagai ''Generasi nol buku'' generasi yang lemah secara literasi, tidak punya referensi, dan enggan bergumul dengan bacaan. Kasarnya dapat dikatakan, "Rabun membaca, pincang mengarang." Rabun karena tidak akrab dengan bacaan-bacaan. Selain itu, pincang membuat karangan-karangan, karena tak terbiasa mengarang dan tak punya referensinya.