Isu-isu terkait pangan di masa depan menjadi isu penting dan masuk dalam ranah atau kawasan yang berpotensi menjadi sumber konflik. Sebagai negeri agraris, dalam hal ketersediaan pangan, aspek-aspek terhadap kemampuan produksi pertanian Indonesia justeru dianggap masih lemah, sementara kebutuhan pasokan atau permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat.
Disisi lain, semakin mengecilnya lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan. Bila kondisi ini terus berlanjut tentu berdampak terhadap kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya daya saing di pasar global.
Mengangkat realita kehidupan para pejuang pangan berikut problematikanya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merangkumnya dalam film dokumenter bertajuk "Srono Urip: Modernisasi dan Krisis Regenerasi Petani di Pedesaan." "Srono Urip" yang berarti sarana hidup sangat identik dengan pertanian terutama bagi masyarakat Jawa. Sebuah kisah nyata berdasarkan riset di beberapa daerah eks Karasidenan Surakarta yakni Sragen, Klaten dan Sukoharjo yang merupakan lumbung padi nasional.
Menyaksikan tayangan berdurasi 15 menit ini, rasanya menjadi sebuah ironi yang berujung tanda tanya besar. Bagaimana nasib ketahanan pangan Indonesia di masa depan, jika modernisasi yang kerap digadang-gadang membawa perubahan justru mengasingkan para pemuda desa nan lugu dari lingkungannya. Dalam film ini juga menunjukkan kegawatan problem di pedesaan yang sifatnya tidak kelihatan, tidak drastis, pelan-pelan, tapi pada ujungnya akan membawa dampak luar biasa.
Urbanisasi pemuda desa menciptakan krisis regenerasi petani. Pertanian skala kecil yang selama ini menghasilkan kebutuhan pangan bagi sebagian besar penduduk Indonesia mengalami situasi krisis karena produktivitas pertanian ditopang tenaga kerja usia tua yang semakin kurang produktif.
Bisa dipahami, modernisasi, khususnya di pedesaan, yang telah jauh merambah bidang pendidikan, kesejahteraan keluarga, pertanian, dan mata pencaharian non-pertanian tentunya sangat berimbas pada kemajuan sebagian kehidupan penduduk pedesaan.
Namun tak bisa dipungkiri, modernisasi yang kebablasan kerap ditengarai sebagai salah satu faktor penyebab generasi muda enggan bertahan dan menggarap tanah leluhurnya dan lebih memilih berkarya di sektor lain yang lebih menjanjikan secara materi.
Jika dibiarkan, tentu saja hal ini akan berdampak pada struktur ketenagakerjaan. Dalam konteks kedaulatan pangan, fenomena keluarnya pemuda dari sektor pertanian akan menjadi permasalahan serius yang mengancam regenerasi petani.
Kementerian Pertanian mencatat, setiap tahun jumlah rumah tangga petani yang hilang sekitar 2 persen. Mereka beralih menekuni usaha lain di luar sektor pertanian. Jika dipetakan, dari sekitar 26,3 juta rumah tangga petani, 65 persen sudah di antaranya berusia di atas 45 tahun.
Dari segi luas lahan, petani pada umumnya gurem. Tercatat 87,63 persen atau 22,9 juta rumah tangga adalah petani dengan kepemilikan luas lahan kurang dari 2 hektare. Sekitar 5 juta rumah tangga petani dilaporkan memiliki luas lahan sawah di bawah 0,5 hektare.
Tidak hanya di Indonesia, perubahan struktur ketenagakerjaan di sektor pertanian ternyata juga terjadi di negara-negara agraris lainnya di dunia, antara lain di Philipina, dimana rata-rata usia petani mencapai 57 tahun, dengan kecenderungan semakin sulit ditemukan pemuda yang kembali ke pertanian.