Indonesia menghadapi masalah besar dalam sistem perpajakan: hanya sebagian kecil rakyat yang membayar pajak. Data menunjukkan bahwa mayoritas penerimaan pajak di Indonesia berasal dari kelas menengah, khususnya karyawan, yang pajaknya langsung dipotong melalui mekanisme Pajak Penghasilan (PPh).
Di sisi lain, banyak pelaku usaha kecil atau pekerja sektor informal yang tidak tersentuh kewajiban pajak. Contohnya adalah petani atau pemilik sawah dengan keuntungan besar, tetapi aktivitas ekonominya sulit terdeteksi. Ironisnya, sektor yang berkontribusi besar, seperti karyawan, justru merasa terbebani.
Lebih parahnya lagi, rakyat kehilangan kepercayaan karena maraknya kasus korupsi di Indonesia. Jika pemerintah ingin memperbaiki sistem pajak dan meningkatkan kepatuhan rakyat, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan.
Mengapa Karyawan Menjadi Tulang Punggung Pajak?
Sistem perpajakan Indonesia sangat bergantung pada karyawan sebagai sumber utama penerimaan pajak. Hal ini karena pajak mereka langsung dipotong dari gaji, sehingga lebih mudah dikumpulkan. Namun, ketergantungan ini menjadi masalah karena:
- Ketimpangan kontribusi pajak. Pelaku usaha kecil dengan keuntungan besar, seperti pedagang atau petani, sering tidak terdeteksi oleh sistem pajak.
- Minimnya diversifikasi sumber pajak. Penerimaan pajak tidak merata di semua sektor, sehingga beban lebih berat dipikul oleh karyawan.
Seharusnya, pemerintah bisa memanfaatkan potensi besar dari sektor industri. Misalnya, jika Indonesia menerima investasi dari perusahaan multinasional seperti Apple, dampaknya akan signifikan. Dengan adanya pabrik yang mempekerjakan hingga 200 ribu karyawan, pajak penghasilan yang dikumpulkan dari mereka akan jauh lebih besar.
Sayangnya, beberapa kebijakan pemerintah, seperti menolak tax holiday selama 50 tahun untuk Apple, justru melewatkan peluang ini. Padahal, meskipun perusahaan tidak membayar pajak langsung, pajak dari karyawannya saja sudah memberikan kontribusi besar bagi negara.
Masalah Pajak di Sektor Agraris dan Usaha Kecil
Indonesia sering disebut sebagai negara agraris, tetapi sektor ini memberikan kontribusi pajak yang sangat kecil. Banyak petani atau pemilik sawah dengan keuntungan besar yang tidak terdeteksi oleh sistem pajak. Ini karena transaksi mereka sering dilakukan secara tunai tanpa pelaporan.
Begitu pula dengan pedagang kecil. Banyak pedagang kaki lima yang sebenarnya memiliki penghasilan besar, bahkan mampu pergi umroh beberapa kali, tetapi tidak pernah membayar pajak. Sistem ini menunjukkan kelemahan dalam menjangkau pelaku ekonomi informal.
Jika pemerintah benar-benar membutuhkan pajak, maka strategi harus bergeser. Daripada terlalu fokus pada sektor agraris, Indonesia sebaiknya mendorong pembangunan sektor industri dan produksi. Industri memberikan peluang yang lebih besar untuk mendeteksi dan mengumpulkan pajak dari aktivitas ekonomi.