Di tengah kemajuan yang terjadi di Indonesia, kita sering kali menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan---masyarakat yang semakin mudah melakukan tindakan anarkis dan minim empati terhadap sesama. Fenomena ini terlihat dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan jalanan, aksi perundungan di media sosial, hingga kecenderungan saling menghakimi tanpa dasar yang jelas. Apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat kita? Mengapa empati semakin menurun, sementara tindakan yang agresif semakin meningkat?
Tentu, ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini, termasuk pola pendidikan, nilai-nilai sosial yang berkembang, hingga pengaruh media dan perubahan budaya. Namun, salah satu faktor yang paling kuat memicu perilaku ini adalah ketidakpastian ekonomi yang terus melanda masyarakat. Banyak orang mengalami tekanan ekonomi, kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menghadapi pengeluaran yang semakin besar di tengah gaji yang stagnan. Ketika kebutuhan dasar sulit terpenuhi, rasa frustrasi menjadi semakin menumpuk. Kondisi ekonomi yang tidak menentu ini menimbulkan ketegangan yang bisa saja terpendam, namun sewaktu-waktu bisa memicu perilaku impulsif yang akhirnya terlihat sebagai tindakan anarkis.
Ketidakstabilan finansial ini juga mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap kehidupan sosialnya. Saat seseorang harus berjuang keras untuk hidup, fokus dan prioritasnya cenderung beralih pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri dan keluarganya, sementara empati terhadap orang lain menjadi kurang diperhatikan. Situasi yang tidak stabil ini juga menyebabkan sikap saling iri dan ketidakpercayaan antarindividu, terutama ketika melihat adanya kesenjangan sosial yang tajam. Kesenjangan yang dirasakan antara mereka yang hidup berkecukupan dengan mereka yang kesulitan sering kali membentuk pandangan bahwa hidup ini tidak adil, yang pada akhirnya bisa memicu kecenderungan untuk bertindak tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Dalam kondisi ini, media sosial semakin memperburuk keadaan. Ketika orang-orang merasa tertekan dan ingin mengekspresikan ketidakpuasannya, mereka menemukan media sosial sebagai wadah yang mudah dan instan. Platform ini memfasilitasi ekspresi emosi yang sering kali kurang terkendali, bahkan berlebihan, di mana komentar atau unggahan dapat segera beredar luas dan mendapat dukungan tanpa proses berpikir panjang. Akibatnya, masyarakat yang merasa frustasi dengan kehidupannya bisa dengan cepat terpicu untuk menghakimi orang lain. Sering kali, perundungan terhadap tokoh publik, selebriti, atau bahkan warga biasa yang terlibat dalam kasus kontroversial terjadi tanpa dasar informasi yang lengkap. Hanya karena sebuah kesalahan kecil atau pendapat yang dianggap berbeda, seseorang bisa langsung menjadi sasaran serangan digital.
Lebih jauh lagi, perilaku anarkis ini sering kali juga dipengaruhi oleh budaya yang kian individualis. Dalam masyarakat modern, terjadi pergeseran nilai di mana fokus utama sering kali adalah keberhasilan dan kebahagiaan pribadi, sementara perhatian terhadap orang lain menjadi semakin kecil. Setiap individu seolah hanya sibuk dengan kehidupannya masing-masing, dan rasa solidaritas serta gotong royong yang dulu menjadi ciri khas masyarakat Indonesia mulai memudar. Akibatnya, ketika seseorang menghadapi kesulitan atau tekanan, mereka merasa tidak ada orang lain yang bisa atau mau mengerti, sehingga mereka mencari pelampiasan sendiri, yang dalam beberapa kasus berbentuk tindakan destruktif.
Ketimpangan ini membuat masyarakat terjebak dalam pola pikir yang semakin jauh dari empati. Masyarakat yang lelah dan merasa kecewa dengan keadaan sosial serta ekonomi mulai merasakan bahwa orang lain hanyalah penghalang atau ancaman. Dalam kondisi seperti ini, kepekaan dan kesediaan untuk memahami perspektif orang lain menjadi hal yang langka. Ketika individu merasa tertekan dari segala sisi, empati dengan mudah terkikis, digantikan oleh rasa marah dan ketidakpuasan yang mereka miliki terhadap hidup dan sistem di sekitarnya.
Secara keseluruhan, fenomena masyarakat yang semakin anarkis dan minim empati bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ini adalah serangkaian masalah yang saling berkaitan, mulai dari ketidakpastian ekonomi, tekanan sosial, pengaruh media sosial, hingga pergeseran nilai-nilai kebersamaan menjadi individualisme yang lebih tinggi. Kondisi ini seolah mengunci masyarakat dalam lingkaran ketidakpuasan yang sulit untuk dipecahkan. Kita perlu memahami masalah ini lebih dalam agar bisa mencari solusi yang lebih tepat untuk mengembalikan harmoni sosial yang sehat dan empati yang hilang di masyarakat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H