Lihat ke Halaman Asli

YASIR

MAHASISWA

Penyebab Generasi Sekarang Kurang Kreatif dan Inovatif

Diperbarui: 10 November 2024   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari:chatgpt.com (AI)

Kreativitas adalah salah satu kunci keberhasilan generasi muda untuk berkembang dan beradaptasi dalam dunia yang terus berubah. Sayangnya, di Indonesia, banyak generasi muda yang dianggap kurang berinovasi dan kreativitas. Salah satu alasan di balik fenomena ini adalah pola asuh yang terlalu menekankan kepatuhan dan keteraturan tanpa memberi ruang cukup bagi anak untuk berpikir bebas, berkreasi, dan bereksplorasi. Pola asuh yang kaku ini dapat mempengaruhi perkembangan mental dan daya cipta anak hingga dewasa. Artikel ini akan mengulas bagaimana pola asuh yang kaku berdampak pada kreativitas generasi muda Indonesia dan mengapa perlu ada perubahan dalam cara orang tua mendidik anak-anak mereka.

1. Pola Asuh yang Menganggap Anak yang "Anteng" adalah Anak yang Baik

Banyak orang tua di Indonesia masih beranggapan bahwa anak yang "anteng" atau patuh adalah anak yang baik. Artinya, anak yang tidak banyak bergerak, tidak bertanya terlalu banyak, dan tidak berekspresi secara bebas dianggap sebagai anak yang ideal. Pola pikir ini sering kali diterapkan sejak dini, bahkan ketika anak masih duduk di bangku TK atau SD. Sayangnya, pola asuh ini cenderung membatasi anak untuk mengembangkan kreativitas dan keberanian dalam mengutarakan pendapat.

Anak-anak yang terus-menerus dibatasi dan diarahkan agar tidak "ribut" atau tidak mengekspresikan diri terlalu banyak akan kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi ide-ide baru. Di masa depan, mereka mungkin kesulitan untuk berpikir out-of-the-box atau mencari solusi kreatif dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hari mereka.

2. Kurangnya Diskusi dan Argumen Menghambat Kemampuan Berpikir Kritis

Selain itu, banyak anak di Indonesia jarang diajak berdiskusi atau diberi ruang untuk berargumen. Banyak orang tua atau guru yang lebih fokus pada kepatuhan anak terhadap perintah atau instruksi daripada membangun dialog terbuka. Akibatnya, anak-anak tidak terbiasa berpikir kritis, mempertanyakan hal-hal yang mereka lihat, atau mencari pemahaman lebih mendalam tentang suatu masalah.

Padahal, diskusi dan argumen sehat adalah cara efektif untuk mengasah kemampuan analisis dan logika anak. Melalui dialog, mereka bisa belajar mengembangkan gagasan, menguji asumsi, dan menerima pandangan yang berbeda. Tanpa kebiasaan ini, anak-anak mungkin menjadi lebih pasif dan kurang mandiri, sehingga ketika mereka dewasa, mereka cenderung mengikuti arahan tanpa mempertanyakan apakah ada cara yang lebih baik atau inovatif.

3. Pendidikan yang Menekankan Hafalan Lebih dari Pemecahan Masalah

Sistem pendidikan yang mengedepankan hafalan dan kepatuhan juga menjadi faktor yang mendukung pola asuh yang kaku. Anak-anak di sekolah lebih banyak diajarkan untuk menghafal daripada memahami konsep secara mendalam. Akibatnya, mereka mungkin kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan menemukan solusi dari berbagai sudut pandang.

Ketika pendidikan tidak memberi ruang bagi kreativitas dan pemecahan masalah, anak-anak akan merasa lebih nyaman untuk mengikuti aturan atau pola yang sudah ada tanpa mempertanyakan efektivitasnya. Ini akan berdampak pada kurangnya inovasi dan kreativitas dalam masyarakat, karena generasi muda tidak terbiasa berpikir secara mandiri atau menciptakan sesuatu yang baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline