Lihat ke Halaman Asli

YASIR

MAHASISWA

Ilmu yang Benar Hanya Dimiliki Para Ulama? Kritik terhadap Fanatisme Agama

Diperbarui: 7 Oktober 2024   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Chat.openai.com

Dalam diskusi seputar agama, sering kali muncul pandangan bahwa kebenaran hanya bisa didapat dari ulama yang bersanad atau memiliki kredibilitas akademis tertentu, seperti mereka yang berkuliah di lembaga-lembaga agama seperti Madinah. Lebih jauh lagi, sebagian umat Islam menolak mentah-mentah pemahaman dari kelompok lain seperti Yahudi, Syiah, atau sumber-sumber di luar Islam. Mereka berpegang teguh bahwa ilmu harus diambil dari ulama terdahulu yang telah mapan dalam ajaran agama. Namun, apakah benar bahwa sumber kebenaran hanya terbatas pada ulama-ulama bersanad atau dengan latar belakang tertentu? Artikel ini akan membongkar pandangan tersebut dan menekankan bahwa verifikasi informasi jauh lebih penting daripada siapa yang menyampaikan.

1. Verifikasi Lebih Penting daripada Sumbernya

Dalam dunia yang penuh dengan informasi, yang paling penting bukanlah siapa yang menyampaikan suatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan tersebut dapat diverifikasi. Dalam Islam sendiri, konsep tabayyun (memeriksa kebenaran) sangat ditekankan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti..." (QS. Al-Hujurat: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa informasi harus diperiksa, terlepas dari siapa yang menyampaikannya. Proses verifikasi adalah kunci dalam menentukan kebenaran, bukan identitas sumbernya.

2. Islam adalah Agama Ilmu Pengetahuan

Islam mengajarkan bahwa umatnya harus mencari ilmu dari berbagai sumber, bahkan dari orang-orang yang dianggap "berbeda" secara agama atau budaya. Dalam hadis terkenal, Rasulullah SAW bersabda: "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China." Meskipun hadis ini tidak secara literal menyebutkan Yahudi atau Syiah, intinya adalah Islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu dari mana pun, bahkan dari tempat yang jauh atau dari orang yang berbeda keyakinan. Jika ilmu itu benar dan dapat dibuktikan, maka itu tetaplah ilmu yang bermanfaat.

3. Kebenaran Tidak Monopoli Suatu Kelompok

Menganggap kebenaran hanya bisa datang dari ulama yang memiliki sanad atau kredibilitas akademis seperti Madinah adalah suatu kekeliruan. Sejarah Islam dipenuhi dengan contoh-contoh ulama dan cendekiawan yang mengambil ilmu dari berbagai sumber, bahkan dari filsafat Yunani, Hindu, atau tradisi lainnya. Ibnu Sina (Avicenna) misalnya, mempelajari filsafat Yunani dan pengobatan yang kemudian menginspirasi pemikirannya yang cemerlang di dunia Islam. Al-Ghazali juga mengkritik filsafat Yunani, tetapi tetap mempelajarinya untuk memahami argumen-argumen tersebut sebelum menyampaikan kritiknya.

4. Bahaya Doktrinasi yang Tertutup

Menolak secara mutlak pemahaman dari orang atau kelompok yang berbeda keyakinan tanpa mempertimbangkan isi dari argumen tersebut adalah bentuk dogmatisme yang membahayakan. Ini membatasi kemampuan umat Islam untuk berpikir kritis dan menyaring informasi. Alih-alih mengabaikan atau menolak langsung, umat Islam seharusnya membuka diri untuk memeriksa informasi dari berbagai sumber, selama informasi tersebut bisa diverifikasi dan mendukung kemaslahatan umat. Mengunci diri hanya pada satu kelompok atau pandangan justru bertentangan dengan semangat Islam yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan.

5. Ulama Terdahulu Juga Berbeda Pandangan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline