Hidup itu soal takar menakar. Kebahagian yang kita dapatkan dalam hidup, akan sangat bergantung pada seberapa pandai kita memberi takaran pada tiap-tiap sisi kehidupan yang kita jalani.
Kebahagiaan itu sendiri terbagi dua, ada kebahagiaan berjangka pendek dan yang jangka panjang, kekal abadi. Atau seringkali kita kenal dengan istilah kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagaimana agar keduanya bisa kita dapatkan? Jawabannya kembali ke yang tadi, tergantung cara kita menakar.
Mengejar kebahagiaan di dunia, berarti kita di tuntut untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan duniawi. Kebahagiaan akhirat pun begitu. Untuk mendapatkannya, tentunya kita harus banyak mengerjakan amalan-amalan ukhrawi.
Lantas, bagaimana cara melakukan keduanya agar hidup kita tetap seimbang? Sebab, tak jarang kita temui ada sebagian orang yang rela mengabaikan akhiratnya demi mengejar dunianya. Dan sebaliknya, ada yang fokus mengejar akhirat dan menjauhkan dunia.
Pemahaman yang umum kita temui adalah membagi dunia dan akhirat menjadi separuh-separuh, fifty-fifty, atau 50: 50. Separuh usaha untuk dunia, separuhnya lagi untuk akhirat. Begitulah keseimbangan hidup yang banyak dipahami.
Nah, sekarang kita berpikir, apakah pantas dunia yang hanya menjadi tempat tinggal sementara kita, disamakan dengan akhirat yang kekal? Apakah pantas kita bekerja mati-matian untuk dunia, di mana kita semua akan mati di dalamnya?
Kalau pun memang separuh-separuh, apakah kita telah melakukan itu? Contoh, kita bekerja untuk kebutuhan dunia 8 jam sehari, apakah akumulasi ibadah kita untuk kebutuhan akhirat sudah 8 jam juga?
Sungguh tidak tepat jika dunia dan akhirat harus dibagi fifty-fifty. Takaran yang sesuai adalah, kita mengutamakan akhirat, tujuan utama kita akhirat, dan dunia hanyalah penunjang. Bahkan, di setiap aktifitas keduniaan kita, jangan pernah lupa menyisihkan amalan akhirat. Niatkanlah semua aktifitas dunia kita untuk menunjang kebutuhan akhirat kita.
Ketika kita bekerja mencari nafkah, niatkanlah untuk kebaikan ibadah kita. Kita mendirikan tempat tinggal, semoga kita nyaman di dalamnya agar kita bisa merencanakan ibadah dengan matang. Kita mencari makan, semoga dengan itu tubuh kita selalu sehat untuk ibadah. Atau, kita memenuhi kebutuhan pakaian kita, semoga dengan itu kebersihan dan kerapian selalu menyertai kita dalam beribadah.
Menyertakan niat akhirat pada setiap kebutuhan dunia, setelah sebelumnya menetapkan ibadah yang memang telah diwajibkan untuk kebutuhan akhirat, itulah takaran yang tepat. Seperti itulah yang namanya seimbang, yaitu memberi porsi yang jauh lebih banyak untuk tempat abadi (akhirat), dibanding persinggahan yang hanya sementara (dunia).