Lihat ke Halaman Asli

Kita Terlalu Sibuk Membandingkan, Lupa Menikmati

Diperbarui: 25 Desember 2018   05:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar disediakan oleh beehome.win

Saya masih teringat, dulu sekitar awal tahun 90an, ada game tetris yang begitu booming. Ya, permainan klasik dengan menyusun kotak-kotak hingga lurus tanpa celah lalu kotaknya hancur. Bricks istilahnya. Warnanya hanya hitam putih, buram, dan layarnya pun sangat kecil. Biasanya satu orang yang punya game-nya lalu kita berkerumun melihatnya.

Sangat sulit mendapatkan kesempatan bermain waktu itu jika bukan kita pemiliknya. Tapi, sekadar melihat saja sudah cukup membuat hati ini gembira, sebab yang punya kadang melarang orang-orang tertentu untuk gabung menyaksikan permainan tetris yang legendaris itu.

Ketika si pemilik game datang, saya dan teman-teman lainnya menyiapkan berbagai cara untuk cari muka, agar nantinya diajak juga untuk nonton permainan game tersebut. 

Syukur-syukur diajak main, atau sekadar diajak duduk pas di samping yang punya untuk menyaksikan kotak demi kotak yang tersusun lalu harcur di game tersebut. Sudah senang rasanya. Bayangkan, permainan yang sangat sederhana--jika dibandingkan dengan saat ini--bisa menghadirkan kebahagiaan dan kegembiraan tersendiri saat itu, walaupun tidak memainkannya.

Saya bukan bertujuan untuk membandingkan masa lalu dan masa sekarang. Bukan membedakan era 90an dan era millenial. Atau menceritakan antara zaman old dan zaman now. Bukan itu tujuannya. Tujuan saya adalah fokus membahas tentang banyaknya kebahagiaan kita yang hilang--hanya karena terbiasa membanding-bandingkan.

Coba kita perhatikan. Dulu, permainan tetris yang sangat sederhana bisa membawa keseruan yang luar biasa karena tak ada permainan lain yang bisa dibandingkan. Tapi setelah munculnya Playstation, permainan itu hilang sama sekali daya tariknya.

Dari sini kita belajar bahwa sebenarnya, hal sederhana pun bisa membahagiakan jika kita fokus menikmati dan mensyukurinya. Tidak membandingkannya dengan yang lain, lalu berkesimpulan bahwa milik orang lain lebih baik.

Bayangkan, kita baru saja memiliki sesuatu dan belum sempat menggunakannya, eh.. kita malah sudah melirik punya orang lain. Kita lalu beranggapan bahwa milik orang lain lebih bagus. 

Akhirnya kita pun kembali mengusahakan seperti yang dimiliki orang lain daj mengabaikan apa yang telah kita miliki. Saat kita telah memiliki lagi apa yang kita kejar tadi (seperti yang dimiliki oleh orang lain), eh... kita kembali membandingkannya dengan yang lainnya. Padahal yang baru kita temukan belum kita pakai, belum kita nikmati, apalagi mensyukurinya.

Ingatlah, pandangan bukanlah parameter kualitas kebahagiaan. Pandangan hanyalah salah satu media untuk menilai, dan itu pun bukan penilaian objektif. Semuanya akan kembali ke rasa dan pada rasa itulah kita akan menemukan nilai yang sebenarnya.

Kita tak boleh membandingkan yang mana lebih enak antara kopi dan martabak. Atau membandingkan Nasi goreng dan kue tar. Semuanya tak akan nyambung sebab beda kriterianya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline