Selama kurang lebih lima tahun terakhir, saya merayakan natal di Gereja Sang PenebusWaingapu. Ada hal yang unik kalau tidak suka dibilang aneh. Selama ada perayaan besarkeagamaan, Gereja selalu dijaga ketat oleh aparat keamanan (TNI-POLRI). Semuanya mengenakan seragam dan ada juga yang bersenjata lengkap. Saya bertanya dalam hati, apakah negeri ini sedang dalam keadaan perang ataukah mungkin Negara sedang darurat militer?
Jawabannya tentu tidak. Dalam nada yang lebih positif dijelaskan bahwa aparat keamanan bertugas mengamankan situasi dan menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan sebelum dan selama perayaan. Negara menjamin setiap warga Negara untuk melaksanakan ritual hari besar keagamaan dalam keadaan yang aman.
Ini jawaban orang kebanyakan yang saya dengar dan jumpai pada sela-sela obrolan ringan sesama umat. Namun sejujurnya, penjagaan ketat oleh aparat keamanan dilatarbelakangi oleh pengalaman di mana Gereja menjadi tempat yang empuk bagi para pelaku teror.
Umat kebanyakan enggan berdiskusi soal aksi teror atas nama agama. Saya juga demikian. Karena saya berpikir bahwa saya tidak perlu menguntit persoalan kelompok lain yang berbeda pandangan atau aliran karena hal itu akan memperkeruh keadaan.
Natal bagi umat Kristiani merupakan perayaan kegembiraan bukan perayaan yang mencemaskan dan menakutkan. Namun kenyataan tak seindah konsep natal dalam dirinya sendiri. Ada tantangan yang selalu saja menghampiri. Baik tantangan yang datang dari dalam diri maupun yang datang dari luar diri.
Tantangan yang datang dari dalam diri berupa rasa benci, iri hati dan dengki serta masih banyak hal lain, tergantung pada keadaan diri pribadi masing-masing. Tantangan yang datang dari luar yang selama ini terasa dan tampak secara kasat mata adalah ancaman bom atau aksi teror. Ancaman yang datang dari luar ditambah lagi dengan pengawalan aparat yang ketat inilah yang membuat saya berada dalam bayangan peperangan.
Saya tidak ingin terlelap dalam bayangan seperti itu karena saya tidak mau dihantui oleh pikiran ke-benci-an yang mendorong saya untuk menyusuns trategi mekanis mepertahanankan diri. Dan hal ini akan mendorong saya untuk tidak lagi memaknai hari natal sebagai sebuah perayaan kegembiraan.
Rindu Natal Tanpa Pengawalan Ketat
Merayakan Natal tanpa pengawalan ketat dari aparat keamanan menjadi sesuatu yang dirindu. Umat kristiani ingin pergi ke Gereja tanpa ada perasaan cemas. Namun, kenyataan itu menjadi sesuatu yang mahal di negeri Pancasila ini.
Aneka pertanyaan sebagai bentuk pergumulan terusmengisi ruang hati dan akal budi. Entah sampai kapan semuanya ini berakhir. Mungkinkah sampai Indonesia bubar? Tidak ada jawaban yang pasti selain terus menggaungkan negeri ini sebagai negeri bertoleransi tinggi. Sembari diikuti dengan penjagaan aparat keamanan setiap kali ada perayaan hari besar keagamaan.
Sungguh ironis. Tetapi itulah kenyataannya. Sejujurnya toleransi beragama kita sedang diuji. Dan, akan dicoba terus-menerus entah sampai dunia kiamat. Sekedar melihat kembali jauh ke belakang, perayaan natal tanpa pengawalan hanya terjadi pada masa Orde Baru. Maaf, saya tidak bermaksud mengajak pembaca untuk sebaiknya kembali ke Orde Baru. Tetapi, saya Cuma ingin menegaskan bahwa hal yang baik pada masa itu ada baiknya diterapkan lagi.