Lihat ke Halaman Asli

Yasintus Ariman

Guru yang selalu ingin berbagi

Celoteh Anak Negeri

Diperbarui: 16 Mei 2018   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok: Jendela Sastra

Sejujurnya saya menulis artikel ini dengan hati gunda gulana. Awalnya, saya nyaman dengan keadaan diri sendiri. Namun ada pemicu yang membuat saya keluar dari penjara nyaman sendiri. saya yang selama ini merasa semuanya aman-aman saja karena hanya berfokus pada rutinitas pribadi, mendadak menjadi pribadi yang sensitif terhadap kenyataan.

Kali ini entah mengapa hati saya seperti teriris sembilu. Rasanya begitu sakit. Mengapa harus terjadi pembantaian keji menimpah sesama saudara sendiri. Ada bisikan keras menggema, biarkan penegak hukum mengatasinya. Luar biasa. Aparat penegak hukum itulah yang menjadi korban utamanya.

Tidak ada kegaduhan berupa nyinyir sebagaimana yang biasa dilakukan. Selain media sosial yang dihuni rakyat jelata dengan gayanya masing-masing mencoba berceloteh. Ya, tentu saja saya termasuk di dalamnya.

Sementara itu, ada keadaan lain yang membuatku risih. Situasi negara lain yang jauh diluar sana, tentu bukan tetangga dekat tetapi rela mengorbankan pikiran, waktu dan tenaga guna menggalang massa dan secara bersama-sama menunjukkan sikap keprihatinan.

Mengutuk habis-habisan mereka yang dianggap penjajah dalam dunia modern. Padahal mereka punya negara dengan sejarah mereka sendiri. Sama seperti kita punya sejarah tentang negara kita sendiri dan haram terhadap intervensi asing mana pun. Tetapi nyatanya kita juga sering menekan dan mengintervensi persoalan negara lain.

Saya tak bermaksud menutup diri dengan keadaan manusia lain yang jauh di luar sana. Saya hanya ingin mengatakan satu hal, yakni jangan sampai kita lalai dan lupa pada keadaan diri sendiri, bangsa sendiri.

Sesungguhnya, kita lupa pada keadaan diri yang majemuk. Kita juga lupa kalau kita memiliki pancasila. Pancasila seakan tidak lagi memiliki gema pun kekuatan yang mendorong kita untuk tahu diri, mawas diri, renung diri. Pancasila telah menjadi onggokan sejarah tanpa makna. Padahal pancasila inilah yang menjadi jiwa dan kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia.

Kini nilai itu telah terkikis. Anak negeri teralienasi dengan apa yang menjadi hakekat dirinya sebagai insan pancasila. Segala bentuk nyinyir yang keluar sebagai ekspresi nilai pancasila tidak lagi tampak. Selain nyinyir sebagai ekspresi untuk merebut kuasa, nyinyir karena merasa tersinggung atau ditelanjangi oleh nilai kebenaran universal, dan nyinyir untuk menyembunyikan kebobrokan.

Jika hal ini masih terjadi, apa lagi yang mesti dibanggakan. Kejayaan masa lampau hanyalah kenangan. Ia tidak akan pernah bisa untuk dibawa ke masa sekarang. Kalau pun itu terjadi tetapi dengan cara dan maksud berbeda, yakni menjayakan kelompok sendiri serentak berusaha menumbangkan aspek keragaman yang telah terjalin apik.

Ini benar-benar tidak bisa diterima. Kebebasan mengeluarkan pendapat dipeleset menjadi bebas untuk mencaci, menjelek-jelekan hingga akhirnya ingin menjatuhkan lawan politik. Padahal idealnya, kebebasan berpendapat mesti diarahkan untuk kritis melihat ketimpangan, berani bersuara mana kala ada korban yang dijadikan tumbal oleh kelompok yang merasa diri paling benar. Berani bersuara tentu bukan untuk menambah kehancuran yang sudah terjadi. Tetapi, sanggup memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi.

Sesungguhnya, hal seperti inilah yang menjadi idealisme insan pancasila, negarawan yang cerdas dan bijak. Makin tua usia sebuah negara mestinya makin bijak dalam memecahkan persoalan yang ada. Bukannya memperkeruh keadaan atau bahkan ingin meraup keuntungan politik dari moment sesaat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline