Lihat ke Halaman Asli

Yasintus Ariman

Guru yang selalu ingin berbagi

Andaikan Kau Datang Kembali

Diperbarui: 21 April 2018   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: bewafalarka.blogspot.com

Jujur saja, artikel ini benar-benar asal tulis. Asal ada yang mesti ditayangkan. Benar-benar sekenanya saja, tanpa isi dan pesan yang sarat makna. Pokoknya asal tulis. Kalau pun pembaca berhenti membacanya sampai pada kalimat terakhir paragraf ini, aku rasa mungkin lebih baik karena aku tak sudi melihat pembaca kecewa setelah membaca keseluruhannya.

Lagi pula, aku  menulis ini dalam keadaan mengantuk. Ada unsur mabuknya. Maklum baru pulang dari pesta syukuran seorang teman yang nyaris meregang nyawa di lampu merah. Ya, karena ulahnya mengendarai sepeda motor kuno, peot yang remnya tidak lagi berfungsi.

Tapi, mau bilang apa, toh itu satu-satunya barang berharga yang dia miliki. Hmm, rupanya dewa maut masih berbelas kasih padanya.

Aku masih terlelap dalam riuhnya pesta syukuran itu. Aku seakan-akan berjalan menyusuri keramaian. Banyak orang berjalan kian kemari mencari sesuatu yang mesti dibeli. Tetapi aku berjalan tanpa tujuan.

Entah mengapa aku bisa berada di tempat itu. Aku pun tak tahu tempat apakah itu. Tapi yang jelas aku memandang lautan manusia didominasi pria tangguh yang sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa senyum,serius, tanpa saling sapa.

Dari sekian banyak yang kupandang. Tak sengaja mataku tertuju pada sosok berambut panjang dengan penampilan memikat mata. Ia berjalan bersama seorang perempuan yang lebih tua dengan paras serupa. Pikirku, itu pasti mamanya.

Aku mencoba mendekatinya sambil mataku tetap tertuju padanya. Entah roh apa yang mendorongnya untuk juga melihat ke arahku. Kami pun beradu pandang. Aku tak peduli dengan himpitan orang banyak. Aku terus terdorong untuk mendekatinya. Rupanya dia tahu kalau aku sedang mengejarnya.

Kulihat ibunya setia mendampingi, mengajarinya cara berbelanja dan lain-lain. Mataku tetap tertuju padanya. Dan kini ia menatapku penuh curiga. Aku terus mengejarnya tanpa alasan yang pasti, mengapa ingin mendekatinya.

Sejenak ia berhenti. Ia menatapku dalam-dalam sampai-sampai ibunya berteriak memanggilnya. Aku tersenyum, karena kutahu akulah penyebabnya. Aku mencoba memagarinya dengan tatapan. Dan kelihatannya berhasil.

Kini, aku semakin dekat dengannya dengan jarak sekitar sepuluh meter. Aku percepatkan langkahku walau harus menabrak beberapa orang. "maaf!" kataku polos.

Tibalah saatnya ia melewati tikungan. Aku cemas mungkin saja ia menghilang dari kejaran mataku. Aku terus mengejarnya hingga tibalah saatnya kami saling bertatap-tatapan tanpa kedipan dalam jarak yang tak ingin lagi kuhitung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline